Pulau Kaniungan, Pendar Tersembunyi di Bawah Garis Khatulistiwa

Kepulauan Derawan, mungkin nama pulau ini sudah begitu akrab di kalangan para pejalan. Kepulauan yang terletak di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur ini memiliki sejumlah objek wisata bahari yang menawan. Maka tidak heran baik wisatawan asing maupun lokal membanjiri tempat ini untuk melihat keindahan bawah lautnya secara langsung, begitu pun dengan saya.

Sebenarnya tanah Kalimantan menjadi destinasi impian saya setelah Pulau Flores. Maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai, impian tersebut urung diwujudkan karena masalah klasik yaitu kurangnya dana. Beruntung ketika saya berpetualang di Flores, saya berkenalan dengan seorang teman yang juga memiliki usaha tour and travel di Kepulauan Derawan. Chan, begitu dia sering disapa mencoba mengajak dan meyakinkan saya untuk berpetualang di tempat yang terkenal dengan gugusan pulau dengan hamparan pasir yang luas.

Spontan jari saya menari di atas layar ponsel untuk mencari tiket yang bisa membawa saya terbang dari Surabaya menuju Berau. Dan lagi-lagi keberuntungan berpihak, saya berhasil mendapatkan tiket dengan harga yang pas dikantong bersama NAM AIR yang akan membawa saya langsung menuju Berau. Dengan usia pesawatnya yang relatif masih muda, flight attendant yang ramah dan profesional, serta menu meal on board yang disajikan membuat perjalanan selama kurang lebih dua jam di dalam pesawat menjadi tidak terasa.

 Tiba di Bandara Kalimarau Berau hawa panas menyambut kami seakan-akan ingin mengucapakan selamat datang di Maldiven Van Borneo, julukan dari Kabupaten Berau. Beruntung mobil jemputan kami sudah menanti di terminal kedatangan, segera kami meletakkan barang di bagasi dan masuk ke dalam mobil untuk bertemu dengan hawa dingin dari air conditioner bersiap menikmati perjalanan selama 3 jam lamanya menuju Pelabuhan Tanjung Batu.

Water Villa Yang Berjajar Di Pinggir Pulau Derawan

Perkebunan sawit, sisa pohon yang terbakar, debu yang beterbangan serta hilir mudik mobil proyek sudah menjadi hal yang awam disini. Miris rasanya melihat semua pemandangan ini. Tanah Kalimantan yang begitu kaya hancur begitu saja di tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab demi sebuah keuntungan. Apa daya saya hanya bisa melihat semua ini dari dalam mobil dan perjalan terus berlanjut membelah perbukitan di Tanah Borneo.

 Sebenarnya ada dua cara untuk menuju Kepulauan Derawan ini, yang pertama melalui Tarakan dan yang kedua melalui Berau. Jalur kedua ini saya ambil karena jarak tempuh yang tidak terlalu jauh dan tentunya menghemat waktu.

 Setibanya di Pelabuhan Tanjung Batu, teman saya Chan menghampiri Pak Bahril yang akan mengantarkan kami menuju Pulau Derawan. Langit sedikit mendung sore itu dan lautpun sedikit bergelombang. “Perjalanan dari Tanjung Batu ke Derawan sekitar 20 menit.” Begitu kata Pak Basril.

 Dengan segera Pak Basril mengemudikan “mobil laut”nya meninggalkan Pelabuhan Tanjung Batu membelah gelombang yang sedang menari-nari sore itu. Sambil berdiri, beliau memperhatikan arah gelombang dengan seksama untuk menghindari batang kayu yang melintang di atas permukaan laut.

 Menjejakkan kaki di Maldives-nya Indonesia, Derawan

 Kira-kira pukul 17.30 WITA, kami tiba di Pulau Derawan. Hati senang tak terkira bisa berdiri di pulau ini. Sungguh impian yang terwujud, teriak hati kecil saya. Segera saya pergi menuju sebuah homestay yang cukup ternama dengan konsep water villa yang unik. Cukup membayar 200 ribu rupiah, kita bisa menikmati kamar bersih lengkap dengan air conditioner nya. Sunset pertama menjadi incaran saya di pulau ini, maka tidak perlu waktu lama bagi saya untuk bergegas pergi menuju ujung dermaga ini.

 Angin sepoi-sepoi membuat saya melupakan sejenak perjalanan yang melelahkan. Sesekali melihat kawanan penyu yang sedang mencari makan di bawah dermaga menjadi pemandangan menarik yang menunjukkan bahwa lingkungan disini masih terjaga dengan baik.

 Malam pun datang, cacing-cacing diperut ini mulai gelisah untuk minta diberi makan. Ditemani teman saya Chan, segera saya menelusuri jalan kampung yang lengang untuk mencari makan. Layaknya tempat wisata bahari, makanan seafood selalu menjadi menu andalan. Semilir angin cukup mengusir suasana gerah malam itu.


Dengan perut yang kekenyangan, kami kembali homestay untuk berisitirahat. Tampak dari kejauhan, beberapa sosok laki-laki tampak asik berbincang sambil sesekali menghisap sebatang rokok yang ada di jemarinya. Dan ternyata mereka semua adalah travel planner yang khusus membawahi tempat-tempat wisata di Derawan. Mas Harry atau Bang Apoy, begitu dia disapa menyambut kami dengan hangat. Secangkir kopi panas menjadi penyambung cerita maksud dan tujuan saya ke tempat ini, bisa keliling pulau dengan budget.

Pasir Gusung Yang Luas Menjadi Daya Tarik Di Pulau Derawan

“Besok sih kita rencana mau survey tempat ke Pulau Kaniungan, kalau kalian mau, ikutan share cost aja. Itung-itung bayar solar.” Celoteh Bang Apoy.

 Tanpa pikir panjang, saya pun mengiyakan ajakan tersebut.

 Terpencil Di Pulau Kecil, Kaniungan

 Rasa penasaran terus berputar di otak saya tentang tempat tersebut. Pukul 09.00 WITA, Bang Apoy ditemani dengan dua orang teman Bang Ringga dan Mas Aziz sibuk membawa drum berisi solar sebagai simpanan bahan bakar selama perjalanan. Setelah semuanya beres, kami siap mengarungi lautan lepas menuju Pulau Kaniungan.

Rumah Nelayan Sekaligus Hotel Terbaik Di Pulau Kaniungan

3 jam perjalananan dengan duduk di speedboat cukup membuat badan menjadi pegal. Belum lagi panas matahari saat itu cukup untuk mengubah warna kulit menjadi coklat. Hanya sehelai kain yang digunakan untuk melindungi tubuh dari sengatan matahari. Sesekali kecepatan speedboat harus diturunkan perlahan mengingat kondisi air laut yang sedang surut. Barisan terumbu karang berjejer dengan warna-warnanya yang menarik. Menjadi obat pencegah kebosanan selama perjalanan.

 Pulau Kaniungan memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan menjadi objek wisata. Akses yang bisa dijangkau dari Teluk Sulaiman membuat pulau ini sangat strategis. Apalagi didukung dengan suasana yang tenang dan jauh dari keramaian membuat tempat ini cocok bagi orang yang ingin menghabisi hari liburnya dengan santai tanpa ada gangguan.

 

Keheningan memang terpancar di pulau ini. Tidak ada satupun orang yang menyambut kedatangan kami. Yang tampak hanya 2 orang anak kecil sedang menikmati permainan bola sepak di tanah lapang. Tidak jauh dari tanah lapang terdapat penginapan yang bernama Rumah Nelayan yang menjadi satu-satunya tempat bermalam. Hamparan pohon kelapa yang berdiri tegak menjadi pemandangan yang menarik disini. Beberapa kursi dan meja kayu menjadi penghias untuk menikmati ketenangan air laut selain gazebo yang sering digunakan warga sekitar untuk bersantai.

 Dengan tarif sekitar 300 ribu rupiah dan memiliki 4 ruang kamar yang bisa diisi sampai 3 orang, Rumah Nelayan bisa dijadikan tempat untuk beristirahat melepas lelah sambil menikmati ketenangan yang tercipta di pulau ini. Aliran listrik yang hanya menyala terbatas pada malam hari dan tidak adanya jaringan komunikasi bisa membuat kita menyatu dengan alam, seakan-akan sedang terdampar di pulau yang tidak berpenghuni.

Nyiur Melambai Di Tepi Pantai

 Suara ayam berkokok dan matinya kipas angin menandakan matahari sudah menampakkan terangnya. Sayup-sayup suara gergaji mesin meraung dari kejauhan membuat saya tersadar dari alam mimpi. Segera saya bergegas pergi ke kamar mandi untuk membasuh badan supaya segar dan bersiap untuk bertamasya di pulau ini.


Udara masih segar pada pagi itu, terlihat dua orang bapak sedang sibuk menggergaji kayu untuk membangun penginapan baru. Mas Harry mengajak saya dan Chan untuk melihat sekeliling pulau ini. Tentunya ajakan tersebut tidak saya tolak. Sejauh mata memandang hamparan pulau kelapa menjadi atap hidup untuk melindungi pulau ini dari panas matahari.

Gazebo dan Beberapa Kursi Kayu Yang Dibuat Untuk Bersantai

 

Pasirnya yang putih dengan kombinasi ribuan pohon kelapa yang tumbuh seakan bersepakat untuk mendorong wisatawan untuk datang ke pulau ini. Sesekali tampak kawanan manta pasir berenang di pinggir pantai seakan tidak peduli dengan kedatangan kami. Pasir pantai di pulau ini termasuk salah satu yang cukup bersih dan masih sangat alami, tidak ada sampah yang mengotorinya. Dan menurut cerita dari masyarakat setempat, pulau ini sempat direkomendasikan oleh salah satu produser asal Negeri Paman Sam untuk dijadikan syuting film.

 Penghasilan utama masyarakat disini adalah nelayan dan pengumpul minyak kelapa. Maka tidak heran jika kita berkunjung kemari, kita bisa melihat tumpukkan batok kelapa yang menggunung.



Suasana disini mengingatkan saya pada lirik lagu ciptaan Izmail Marzuki dengan lagu yang berjudul Rayuan Pulau Kelapa. “Mungkin gambaran seperti inilah yang beliau rasakan pada saat mengarang sebuah lagu”. Gumam ku. Betah rasanya duduk berlama-lama di pinggir pantai mendengar deru ombak ditemani tiupan semilir angin seakan beban dalam hidup menjadi hilang.

 

Berfoto Diantara Pohon Kelapa

 

Tidak menyangka di tempat terpencil ini saya bisa menemukan “surga” yang masih alami. Sebuah harapan besar bahwa masih banyak “surga-surga” kecil di Indonesia yang patut untuk dikembangkan menjadi obyek wisata. Pulau Kaniungan memang jarang masuk ke dalam incaran para wisatawan yang berkunjung di Kepulauan Derawan dan gaungnya memang tidak setenar Derawan, Maratua, dan Kakaban. Namun, pulau ini cocok bagi mereka yang ingin menikmati keaslian suasana kehidupan pulau. Maka tidak salah jika Pulau Kaniungan menjadi destinasi wajib, bagi mereka yang terbiasa hidup di kota besar.

Baduy Yang Tak Lekang Oleh Waktu

Salah satu alasan mengapa banyak orang melancong ke suatu tempat adalah keinginan untuk menemukan sesuatu yang unik dari destinasi yang dituju serta mencari ketenangan dari rutinitas kota yang sangat padat. Ini juga yang membuat saya kerap kali mencari destinasi alternatif dan saya memilih menginap di Kampung Baduy Dalam yang berada di Desa Cikeusik dimana kampung tersebut memiliki keunikan yang mungkin jarang orang ketahui.

Dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam dari Ibukota Jakarta menuju Rangkasbitung lalu dilanjutkan selama kurang lebih 2,5 jam melewati jalan yang berkelok-kelok penuh lubang sampai lah kita di Desa Cijahe. Hanya sekedar informasi, sebagian besar wisatawan yang berkunjung ke ke Kampung Baduy lebih memilih untuk menghabiskan malam di Desa Ciboleger, yang menurut informasi peraturan di Desa Ciboleger tidak seketat di Desa Cikeusik yang saya tinggali. Namun bagi pelancong yang tak suka dengan keramaian seperti saya, Desa Cikeusik merupakan tempat beristirahat yang tepat untuk menikmati alam.

 


Jembatan bambu yang membelah aliran sungai menandakan bahwa kita sudah memasuki kawasan Baduy luar dan setiap wisatawan yang berkunjung diwajibkan untuk melapor di pos jaga yang letaknya tidak jauh dari jembatan. Setelah proses registrasi selesai, perjalanan pun dilanjutkan dengan berjalan kaki ditemani hamparan ladang hasil pembukaan lahan yang dilakukan oleh Suku Baduy.

Suasana hening begitu terasa saat kami tiba di Desa Cikeusik. Yang terdengar hanya suara aliran sungai yang mengalir melewati bebatuanserta suara hewan yang menjadi peliharaan warga sekitar. Rumah panggung yang terbuat dari balok kayu berdiri kokoh beratapkan ijuk atau daun kelapa seakan siap menyambut kedatangan saya dan rekan-rekan. Yang unik dari rumah orang Baduy yang saya lihat adalah hanya memiliki satu pintu di depan dan tidak ada pintu belakang. Setelah beristirahat sejenak di rumah Abang Ramli, pemilik rumah sekaligus guide selama di Baduy, mengajak kami untuk melihat-lihat keindahan kampung Baduy Dalam.

Bang Ramli yang ditemani Bang Idong dari Desa Cibeo banyak bercerita tentang kehidupan suku Baduy yang selalu hidup nomaden atau berpindah-pindah layaknya jaman prasejarah dan selalu bergotong royong pada saat memindahkn rumah. Selain itu, masyarakat Baduy Dalam selalu tinggal dekat aliran sungai yang dipercaya sebagai sumber kehidupan mereka. Oleh karena itu, siapa pun yang berkunjung ke tempat ini tidak diperbolehkan menggunakan sabun untuk mandi, shampoo, maupun pasta gigi.

Selain itu juga layaknya kota-kota besar yang memiliki pusat pemerintahan, suku Baduy juga memiliki kepala adat yang diberi nama Jarwo dan orang yang disakralkan yang dipanggil dengan Pu’un. Menurut Bang Ramli tidak semua orang bisa bertemu dengan pu’un, dan hanya beberapa orang saja yang bisa menginjakkan kaki di rumah pu’un . Dengan kata lain, Orang Baduy mengaggap Pu’un sebagai orang yang suci. Dan posisi Pu’un dalam suku Baduy berperan sangat besar mulai dari menentukan masa menggarap ladang dan menentukan hasil panen, pemberian sanksi adat, menentukan kelahiran, pemberian nama, perkawinan, dan menyembuhkan penyakit.

 

Dengan mengenakan baju putih khas Baduy Dalam, Bang Ramli melanjutkan penjelasan tentang aturan yang berada di masyarakatnya. Setiap aturan yang ada dibuat supaya masyarakat Baduy memiliki batasan dengan apa yang boleh dilakukan maupun tidak. Begitu ada warga Baduy Dalam yang melanggar, maka mereka akan diasingkan ke Baduy Luar dan tidak bisa kembali menjadi warga Baduy Dalam.

Mengenai perkawinan adat di kampung Baduy, seorang wanita Baduy Dalam yang sudah menginjak usia 14 tahun akan dijodohkan oleh orang tuanya dengan laki-laki yang berasal dari Baduy Dalam. Selama belum dijodohkan oleh orang tua, laki-laki Baduy Dalam bebas memilih wanita Baduy Dalam idaman. Namun jika belum menemukan pilihan yang cocok, baik laki-laki maupun perempuan Baduy Dalam harus menuruti jodoh yang dipilihkan oleh orang tuanya atau seorang pu’un.

 

Seakan tidak ada habisnya bercerita tentang keunikan yang dimiliki Suku Baduy Dalam, Bang Ramli bercerita tentang proses pemakamaan pada saat seorang suku Baduy Dalam meninggal dunia. Seorang Pu’un kembali melakukan perannya untuk memimpin upacara pemakaman. Yang unik dari pemakaman Baduy Dalam ini adalah jasad yang sudah dikuburkan, dikuburkan tanpa batu nisan di sebuah ladang yang nantinya lahan tersebut ditanami tumbuhan yang akan dipanen oleh warga Baduy Dalam.

Layaknya orang yang tinggal di kota yang suka berinvestasi dengan uang maupun emas, suku Baduy Dalam juga melakukan hal serupa. Hanya saja mereka menyimpannya dalam bentuk dandang yang terbuat dari kuningan. Pada umumnya dandang tersebut dipakai untuk menanak nasi sebagai simbol kehormatan dan status sosial yang dimiliki oleh keluarga tersebut.
Saya sempat bertanya kepada Bang Ramli tentang apa arti kebahagiaan orang Baduy. Beliau menjawab dengan ringan pertanyaan tersebut. Buat mereka bahagia adalah bisa berbincang santai dengan warga Baduy lain atau tamu yang datang, pergi berladang bersama-sama, dan mendidik anak mereka. Maka tidak heran, jika kita pergi ke Baduy, kita bisa melihat anak kecil membantu orang tuanya berladang. Karena itu sesuai dengan cita-cita yang diinginkan oleh orang tua mereka. Begitu sederhananya hidup orang Baduy.

10 Fakta Yang Orang Belum Ketahui Tentang Suku Baduy Dalam

How to get there:

Ada banyak kereta dari Tanah Abang menuju Rangkasbitung, seperti KA Rangkas Jaya, KA Lokal Rangkas, KA Kalimaya

Dari Rangkas dilanjutkan dengan naik Elf menuju desa Ciboleger, Cijahe atau Cibeo

Tips:

Biasanya pada Bulan Februari-April setiap tahunnya, suku Baduy Dalam melakukan puasa dengan istilah Kawalun. Pada musim Kawalun, masyarakat Baduy Dalam tidak menerima tamu dari luar

Bawa payung atau sunblock, karena siang hari begitu terik

Lebih baik membawa sleeping bag untuk mencegah dingin pada malam hari.

Persinggahan Terakhir. Cara Hemat Menuju Flores Part 8, Selesai (Overland Jawa-Flores)

Mobil modifikasinya meraung di jalanan Kota Bima yang sepi, beliau mengantarkan kami ke rumah sederhananya di dalam sebuah gang yang tidak terlalu sempit.

“Ayo, silakan masuk. Anggap aja rumah sendiri.” Kata Bang Alan.

“Yang perempuan bisa tidur di kamar. Yang laki-laki bisalah di sofa atau di tempat kerja saya yang seadanya.”

“Abang tidur dimana?” Tanya salah satu teman kepada Bang Alan.

“Jangan pikirkan saya, yang penting kalian istirahat yang nyeyak. Besok pagi kalian bangun jm 04.00, bus udah siap mengantarkan kalian ke Pelabuhan Sape. Sekarang saya mau cari bus dulu. Kalian istirahat ya..”

Hati kecil gw berkata, di tempat seperti ini masih ada orang baik yang mau menolong padahal kita sama sekali enggak kenal. Sungguh petualangan yang membuat gw pribadi menjadi terharu.

Rumah dengan empat buah kamar serta satu kamar mandi mendadak penuh dengan kehadiran kami. Sepasang foto Bang Alam saat menerima penghargaan dari Kick Andy menjadi pemanis di ruangan ini.

Perjalanan yang cukup melelahkan setelah melewati beberapa tragedi membuat stamina kami terkuras. Beberapa teman kami ada yang langsung terbaring di alam mimpi dengan beralaskan tikar, beberapa ada yang membersihkan tubuhnya dari keringat yang menempel, dan sebagian lagi ada yang mengisi baterai HP untuk persiapan esok hari.

Pukul 04.00 dini hari alarm berbunyi, kami semua bergegas bangun dan merapikan peralatan tidur kami. Rasanya baru saja mata ini terpejam, sudah harus bergegas mengejar bus untuk pindah ke tempat lain. Ya inilah sensasi menjadi backpacker, terkadang apa yang kita rencanakan tidak berjalan dengan semestinya. Tapi dari kejadian inilah, liburan menjadi berkesan.

 

Bang Alan (Kedua Dari Kanan) Menerima Penghargaan Kick Andy Heroes. Sumber Google

Setelah semuanya beres, Bang Alan membawa kami ke ujung jalan tempat dimana bus menunggu kami. Ditemani lampu jalan yang temaram serta dingin nya pagi itu membuat kami begitu bersemangat menuju Kota Sape. Terdengar dari kejauhan raungan mesin bus siap mengantar kami. Beberapa kursi telah terisi oleh warga yang hendak menuju Pelabuhan Sape. Kami segera memberikan tas kepada kenek bus untuk di letakkan di bagasi atas. Tidak lupa juga kami untuk berpamitan dengan Bang Alan, berterima kasih atas bantuannya kepada kami.

Menurut info, jalur sepanjang Bima menuju Sape memiliki pemandangan yang indah melalui perbukitan dimana banyak sekali pohon jati tumbuh. Selain itu juga petak sawah banyak dijumpai selama perjalanan. Maka dari itu sangat sayang dilewatkan.

Tapi.. Kenyataan nya karena dini hari kami berangkat, langit pun masih gelap dan dibantu mata yang masih mengantuk, gw pribadi mengurungkan niat untuk melihat pemandangan ini. Suara brisik dari bus seakan menjadi lagu pengantar tidur.

Suarah riuh kerumunan orang-orang membangunkan gw dari tidur nyenyak. Ternyata bus sudah berhenti di pemberhentian akhir di Pelabuhan Sape. Itu tandanya, Labuan Bajo udah di depan mata!!

Sampai di pelabuhan, kami membawa turun tas bawaan dan pergi ke warung makan untuk sarapan yang letaknya tidak jauh saat kami turun dari bus. Memanfaatkan waktu yang ada, sebagian irang memakainya dengan sarapan dan ada yang mandi pagi karena belum sempat mandi di rumah Bang Alan.

Sementara itu dengan membawa sejumlah uang, Harival dan Raisa pergi bertemu dengan seseorang yang sudah diberi tahu Bang Alan untuk mengurus tiket Feri dari Pelabuhan Sape menuju Labuan Bajo.beres bertemu dengan rekan Bang Alan, Harival dan Raisa pun ikut bergabung untuk mengisi perut.

 

Kami datang Labuan Bajo!!

Namun keanehan kembali terjadi, mendekati Pk 09.00 rekan Bang Alan yang berjanji untuk mengurus tiket tidak kunjung terlihat batang hidungnya. Raut kepanikkan kembali bermunculan. Bayang-bayang  kejadian Di Bima ditakutkan kembali terulang. Dihubungi berkali-kali tak ada jawaban, sampai semua mencari abang tersebut.

Setelah lelah mencari dan harapan hampir pupus, akhirnya abang yang kita cari menampakkan batang hidungnya. Dengan berbagai alasan, beliau memberikan penjelasan mengapa HP nya sulit dihubungi dan bermacam alasan lainnya yang tak masuk akal. Malas mendengarkan penjelasan yang berbelit, kami segera mengambil tiket yang ada di tangannya dan berjalan menuju kapal.

Tampak pria berseragam hijau berbadan tegap berdiri memeriksa identitas para penumpang. Satu per satu calon penumpang diperiksa tiket dan identitas, begitu juga dengan kami. Tiba-tiba terdengar suara keriuhan dari orang-orang yang sedang berkerumun. Ternyata beberapa teman gw diberhentikan oleh pihak berwajib pada saat pengecekan tiket. Tiket yang dibeli melalui perantara teman Bang Alan ternyata ditukar dengan tiket untuk anak-anak yang tentunya kita sendiri tidak tahu. Tidak berapa lama, orang yang menjadi perantara tiket tersebut kembali dan memberikan tiket yang diperuntukkan untuk orang dewasa. Masalah pun selesai, kita semua melenggangang masuk ke pintu kapal.

“Beli nasee.. Beli nasee.. Lima belas ribu!!

Suara itu terdengar begitu lantang di tengah hiruk pikuknya penumpang di dalam kapal. Tiga orang bocah berseragam SD, 2 orang laki-laki dan 1 orang perempuan dengan gesit menawarkan hasil dagangannya kepada penumpang. Tidak luput juga mereka menawarkannya kepada orang bule yang turut menjadi penumpang .

“Kamu enggak sekolah?” Gw iseng bertanya.

“Enggak bang, mau bantuin ibu aja jualan nasi bungkus.” Kata si anak dengan logat bahasa Bima nya yang khas.

Perlahan kapal mulai bergeser. Peluit berbunyi dengan nyaringnya pertanda kapal siap diberangkatkan. Kapal yang terdiri dari tiga lantai ini penuh dengan hiruk pikuk penumpang. Lantai dasar digunakan sebagai tempat parkir kendaraan. Lantai dua yang merupakan tempat bagi penumpang memiliki 2 koridor dengan total 8 kamar mandi di dalamnya. Koridor pertama tersedia kantin kecil yang menyediakan makanan seperti mie rebus dan kopi dengan beberapa kursi yang cukup banyak untuk menampung penumpang. Koridor yang kedua mungkin bisa dibilang tempat paling enak. Mengingat perjalanan yang memakan waktu 6 jam, koridor ini bisa membuat kita beristirahat dan melepas kebosanan selama perjalanan. Karena terdapat cukup banyak kasur tingkat, maka tidak salah jika banyak orang berebutan tempat ini.

Namun bagi yang tidak suka duduk berlama-lama di dalam kapal, lantai tiga bisa digunakan untuk kita berjalan-jalan, melihat birunya lautan dari atas kapal dan menikmati angin yang sejuk.

 

Bosen di kapal? Selfie aja 😉

Enam jam perjalanan itu pula kita pakai dengan mandi, mencuci pakaian yang kotor dan memakan perbekalan yang ada. Sesekali juga kami bercerita tentang perjalanan yang telah kami lewati bersama atau bahkan sampai tertidur di lantai tanpa alas. Sebuah perjalanan yang menarik..

Latar belakang Pulau Komodo menjadi awal penyambutan kami menuju pintu gerbang utama menuju NTT. Jarak yang menurut peta sebenarnya dekat dari Sape menuju Labuan Bajo, ternyata berbeda dengan kenyataan nya yang mengharuskan kapal untuk mengelilingi pulau terbesar di Kepulauan Komodo.

 

Finally! Destinasi terakhir setelah overland

Perlahan kapal mulai memasuki area pelabuhan. Kapal-kapal besar dengan bentuknya yang unik terparkir rapi dan terlihat kapal kecil lalu lalang membawa tangkapan ikan untuk dibawa ke pelelangan. Layaknya kota baru, Labuan Bajo berkembang begitu pesatnya dibanding kan tahun 2012 pertama kali gw menginjakkan kaki di pulau ini.

Ah.. Labuan Bajo, akhirnya gw kembali. Melepas rasa rindu yang tak tertahankan dan bersiap mengunjungi keindahan mu yang tak pernah ada habisnya.

Baca juga

How to get there:

Bus Bima-Sape Rp 30.000,-

Tiket Feri Sape-Labuan Bajo Rp 60.000,-

Makan Rp 12.000,-

10 Fakta Yang Orang Belum Ketahui Tentang Suku Baduy Dalam

Perjalanan menuju Suku Baduy Dalam, memberikan suasana berlibur yang berbeda bagi orang-orang yang tinggal di kota besar. Suku Baduy Dalam memiliki 3 kampung yang berdiri secara terpisah, yaitu Kampung Cibeo, Kampung Cikeusik, dan Kampung Cikertawarna. Pada umumnya, wisatawan yang berkunjung ke Baduy Dalam lebih memilih untuk bermalam di Kampung Cibeo. Dikarenakan di kampung ini lebih terbuka bagi wisatawan yang datang. Walaupun masih tetap berpegang teguh dengan larangan adat yang dilarang mengambil foto serta dilarang menggunakan bahan kimia pada saat mandi.Tapi bagi kalian yang ingin mencari “privasi” dan ingin benar-benar menikmati keasrian Suku Baduy Dalam, datanglah ke Kampung Cikeusik yang jarang dikunjungi oleh wisatawan. Dengan jarangnya wisatawan yang berkunjung ke kampung ini, membuat tempat ini terlihat masih bersih dan tentunya kita bisa menggali banyak informasi mengenai Suku Baduy Dalam. Berikut informasi yang belum kamu ketahui tentang Suku Baduy Dalam.

1. Suku yang hemat dan gemar berjalan kaki

Adanya larangan menggunakan kendaraan seperti motor atau pun mobil, tidak membuat Suku Baduy Dalam merasa terasing dari dunia luar. Pertemuan saya dengan Kang Ralim warga Suku Baduy Dalam membuat saya terkagum bahwa Suku Baduy Dalam selalu berjalan kaki apabila mengunjungi kerabatnya yang tinggal di kota besar untuk bertamu maupun berjualan hasil ladang dan kerajinan tangan khas Suku Baduy Dalam.

“Pernah saya jalan kaki dari sini (Kampung Cikeusik) sampai Bekasi/ Bogor buat ketemu teman” kata Kang Ralim dengan logat nya yang unik.

Kang Ralim dan Kang Idom, Suku Baduy Dalam yang menjadi porter


 
2. Kekayaan tidak dilihat dari bentuk rumah

 Tidak seperti orang yang tinggal di kota pada umumnya yang memiliki rumah besar selalu identik dengan orang kaya, berpangkat tinggi, dan dipandang banyak orang. Lain halnya dengan Suku Baduy Dalam yang bentuk rumahnya hampir serupa satu sama lainnya. 

Yang membedakan status kekayaan mereka adalah tembikar yang dibuat dari kuningan yang disimpan di dalam rumah. Semakin banyak tembikar yang disimpan, menandakan status keluarga tersebut semakin tinggi dan dipandang orang.

  

 
3. Gemar bergotong royong

Salah satu ciri khas dari Orang Indonesia adalah bergotong-royong. Tapi sifat ini ternyata sudah ada dan selalu diterapkan oleh Suku Baduy Dalam pada saat mereka harus berpindah tempat dari satu wilayah ke wilayah lain. Sebagai suku nomaden (tidak memiliki tempat tetap) dan menganut sistem ladang terbuka, membuat Suku Baduy Dalam hidup saling membantu. 

Hal ini dapat dilihat pada saat membangun atau memindahkan rumah warga Baduy Dalam secara bersama-sama ke tempat yang baru dimana lahannya memiliki tanah yang lebih subur.

 

Perkampungan Baduy yang tersusun rapi dan bersih

   

4. Ayam merupakan makananan mewah

 Tidak seperti masyarakat pada umumnya yang selalu menyediakan menu ayam pada setiap makanan yang disajikan, tidak begitu dengan Suku Baduy Dalam. Walaupun kita bisa menemukan ayam berkeliaran bebas di kampung, bukan berarti ayam bisa menjadi makanan sehari-hari. 

Suku Baduy Dalam hanya menyantap hidangan ayam setidaknya 1 bulan sekali atau hanya pada saat upacara-upacara besar, seperti pernikahan dan kelahiran.

5. Pu’un, layaknya presiden di Kampung Baduy Dalam

Setiap suku yang tinggal di Indonesia pasti memiliki kepala adat yang berfungsi mengatur warganya. Begitu juga Suku Baduy Dalam yang memiliki kepala adat yang biasa dipanggil Pu’un. Pu’un adalah orang yang memiliki kelebihan yang berbeda dibanding warga biasa. Tugas dari Pu’un yaitu menentukan masa tanam dan panen. Menerapkan hukum adat kepada warganya, mengobati yang sakit.

“Hanya orang-orang yang memiliki kepentingan khusus yang bisa bertemu Pu’un” Tegas Kang Ralim.

6. Larangan berkunjung selama 3 bulan

Walaupun tidak menganut Agama Muslim, warga Baduy Dalam menjalankan tradisi Kawalu. Kawalu adalah puasa yang dijalankan oleh warga Baduy Dalam yang dirayakan tiga kali selama tiga bulan. Pada puasa ini warga Baduy Dalam berdoa kepada Tuhan agar negar ini diberikan rasa aman, damai, dan sejahtera.

Oleh karena itu pada saat tradisi Kawalu dijalankan, para pengunjung dilarang masuk ke Baduy Dalam. Apabila ada kepentingan, biasanya pengunjung hanya diperbolehkan berkunjung sampai Baduy Luar namun tidak diperbolehkan menginap.

Batas sebelum masuk ke Baduy Dalam

7. Perjodohan masih berlaku

Sebuah hal yang tidak lazim dilakukan pada zaman sekarang namun masih berlaku di Suku Baduy Dalam. Seorang gadis yang sudah berumur 14 tahun akan dijodohkan dengan laki-laki yang berasal dari Suku Baduy Dalam. Selama masa penjodohan, orang tua dari laki-laki Baduy Dalam bebas memilih wanita Baduy Dalam yang disukainya. 

Namun jika belum menemukan pilihan yang cocok, laki-laki maupun perempuan harus menuruti pilihan sang orang tua ataupun pilihan yang diberikan oleh seorang Pu’un.

Menyempatkan berfoto dengan Suku Baduy Dalam menjadi oleh-oleh menarik


 
8. Tak ada gelas, batang bambu pun jadi.
Pelarangan menggunakan gelas serta piring sebagai tempat untuk menyimpan air dan alas untuk makan tidak membuat Suku Baduy Dalam kehilangan akal. Dibekali sumber daya alam yang banyak, Suku Baduy Dalam membuat gelas serta tadah air minum yang terbuat dari bambu panjang.
“Aroma khas dari bambu akan keluar pada saat kita menyeduh kopi panas di dalam cangkir bambu ini yang membuat rasa kopi menjadi berbeda.” Tegas Kang Ralim.

Menari di atas bukit, menunggu matahari pagi

9. Kebahagian yang sederhana khas Suku Baduy Dalam

“Tidak banyak aktivitas yang bisa kita lakukan pada malam hari karena keterbatasan cahaya.”

    “Biasanya alat musik seperti kecapi yang menemani malam kami sambil mengobrol dengan tetangga, Dengan cara seperti ini, kami sudah bahagia” Cerita Kang Ralim menggambarkan kondisi malam hari di Suku Baduy Dalam.

10. Cita-cita sederhana orang tua Suku Baduy Dalam

 “Membantu orang tua berladang” begitu ucapan Kang Ralim terhadap pertanyaan yang saya ajukan mengenai cita-cita orang tua terhadap anak-anak Suku Baduy Dalam.

 Tak muluk-muluk bukan? Cita-cita yang sangat sederhana jika didengar oleh telinga orang moderen seperti saya, namun justru di situ kearifan lokal mereka. Hal-hal yang menurut kita sepele, ketidak neko-nekoan dan prinsip hidup mereka yang sederhana membuat hidup lebih bahagia dan tenang.

Bahkan anak kecil rela membantu orang tuanya

 

 

 

 

Sengsara Yang Membawa Nikmat. Cara Hemat Menuju Flores Part 7 (Overland Jawa-Flores)

Pagi itu kami segera mengepakkan barang bawaan, mengambil sampah yang berserakan, mengambil pakaian yang basah. HP yang mulai error karena tercebur air laut, membuat suasana hati menjadi tidak nyaman. Tapi gw tetap berusaha tenang saat itu. Kami semua menunggu kapal di ujung dermaga, sesekali mengabadikan pulau cantik ini dan beberapa kali berfoto bersama. Sedih rasanya harus meninggalkan pulau ini. Tidak cukup rasanya menghabiskan satu malam di tempat ini karena belum merasakan segarnya air laut. 

Sedih Hpnya rusak, jadi cuma bisa selfie 😦

Ya.. Walaupun gw udah berenang bersama HP tercinta, tapi tetap saja ada yang kurang. Dua buah kapal mulai merapat dan siap untuk mengantarkan kami pulang ke Sumbawa. Satu per satu dari kami turun dan membantu barang bawaan yang kami bawa. Lagi dan lagi, kapal yang berukuran sangat kecil menyulitkan kami untuk bergerak. 

“Bang, lu gak mau lanjut Flores apa? Sayang lho udah sampe sini..” Tanya Raisa. 

” Engak ah sa.. Duit terbatas, HP pun rusak. Gw gak bisa hubungin bokap nyokap kalau amit-amit ada apa-apa.” 

Berfoto sebelum melanjutkan perjalanan

Semilir angin begitu terasa ketika kapal mulai menyebrang membelah selat kecil menuju Sumbawa. Langit biru dan awan putih seakan menambah keindahan di siang itu yang membuat gw harus selalu bersyukur bahwa Tuhan selalu menyertai setiap perjalanan. 

Tidak terasa kapal yang membawa kami telah sampai di Sumbawa. Tiba-tiba panas langsung menusuk kulit. Dengan langkah seribu kami pergi ke Rumah Makan Surabaya, tepat dimana kapal kami berlabuh. Rumah makan satu-satunya yang menurut gw cukup enak, murah, dan pas di kantong tentunya. Menu telor, dua sayur, nasi putih dan air tawar selalu menjadi makanan favorit di setiap perjalanan ditambah dengan kering tempe yang slalu setia menemani. 
“Lu lanjut Flores dong! Please… Temenin kita”. Kata Harival.

“Iya, ntar kita patungan aja bantuin lu biar lu bisa berangkat!” Bujuk Raisa yang coba memanas-manasi. 

Jujur Flores selalu memikat perhatian. Walaupun  gw udah pernah kesana di tahun 2012, sekarang Flores sudah banyak berubah. Belum lagi banyak pulau-pulau yang populer lewat instagram

 

Here we go Flores!

 
“Bang Ginting, kalau gw lanjut ke Flores lu bakal ikut apa mau pulang?” Tanya gw. “Gw pulang aja deh. Gw dah kangen sama istri ni…”

Akhirnya gw memutuskan untuk lanjut ke Flores dengan segala pertimbangan nya. Mudah-mudahan perjalanan gw lancar dan tidak terjadi apa-apa. Kembali lagi tim terbagi dua. Tim pertama beranggotakan gw, Harival, dan Raisa bertolak ke Flores bersama 7 orang teman. Sedangkan Bang Aim dan Piyo bersama 3 orang teman memilih pulang ke Lombok. 

Menurut informasi yang gw dapat untuk mendapatkan bus menuju Bima sebelum menyebrang ke Flores, lebih baik menunggu di tengah jalan. Karena jika kita menunggu di pelabuhan, para calo bertebaran menawari kita untuk naik bus mereka. 

Sebelum menunggu bus tiba, kami semua pergi ke minimarket untuk menyiapkan perbekalan selama perjalanan. Tidak berapa lama, bus yang kami nanti tiba. Bus yang cukup besar berwarna putih dengan rute Sumbawa-Dompu-Bima menjadi pilihan kami. Kami pun bergegas berlarian ke pinggir jalan untuk menyetop bus tersebut. Kondisi bus yang cukup nyaman membuat kami bisa menikmati keindahan selama perjalanan.

Hamparan padang rumput yang kering disertai jalanan aspal yang mulus dan tebing yang menjulang tinggi, sesekali melihat kawanan kuda yang bergerombol begitu memanjakan mata. Belum lagi sunset yang menemani selama perjalanan begitu mempesona saat kita melewati bibir pantai. Tidak terasa langit perlahan mulai gelap, mata terasa berat melihat begitu banyak keindahan yang disuguhkan.  Perlahan namun pasti, mata terpejam menuntun gw ke alam mimpi. 

Tiba-tiba di tengah perjalanan bus berhenti, semua terlihat gelap. Semua penumpang turun satu per satu dari bus. Semua melihat dengan wajah kebingungan dan berpikir bus ini hanya menurunkan penumpang dan menunggu penumpang baru untuk melanjutkan perjalanan ke Bima. 

Sambil menunggu, kita semua membuka hidangan nasi putih untuk santapan makan malam dan tidak lupa juga kering tempe yang melegenda. Sambil menikmati santap malam, tiba-tiba kenek bus datang menghampiri..

“Bang, maap bus kita ada masalah. Enggak bisa lanjut ke Bima. Sebagai gantinya udah kami siapkan mobil avanza untuk mengantar ke Bima.” 

Kita semua terdiam sejenak.. 

“Bang yang bener aja kita udah bayar sampe Bima kok diturunin disini sih! Mana muat 10 orang di satu mobil! Badan kita juga enggak semua langsing!” Celetuk Harival. 

Mendadak malam itu suasana menjadi panas. Dengan kondisi yang capek sangat mempengaruhi pikiran kita saat itu. Akhirnya kita semua mengalah. Berhubung kita juga dikejar waktu. Satu per satu tas keril yang kita bawa di letakkan di atas mobil lalu di ikat dengan tali tambang. Begitu juga dengan kami yang memiliki ukuran badan yang berbeda, mengatur posisi duduk  supaya muat dalam satu mobil seperti ikan sarden.

 Dengan kondisi mobil yang pengap, kondisi jalan yang serba gelap tanpa penerangan dan jalan berliku-liku, supir yang terus menancapkan gas dalam-dalam membuat kami ingin cepat sampai di Bima. Di tengah perjalanan, Raisa menelpon seorang teman di Labuan Bajo yang bernama Bang Guri, menceritakan kejadian yang kita alami. 

Beliau memberi saran untuk menghubungi temannya di Bima yang bernama Bang Alan dan menceritakan kondisi kita sekarang. Raisa mengikuti saran dari Bang Guri untuk segera menghubungi Bang Alan. Bang Alan berkata, akan menunggu kita di pom bensin di Kota Bima. 

Tidak berapa lama, teman gw satu mobil bernama Eza menghubungi seorang teman di Bima. Temannya memberi saran untuk mampir dulu ke rumahnya untuk makan malam dan kebetulan dia punya sebuah restoran di Kota Bima. Akhirnya kita semua berunding dan memutuskan untuk menghampiri temannya Eza terlebih dahulu baru menghampiri Bang Alan.

Rejeki memang gak kemana. Disaat kita kesusahan, selalu ada orang baik yang akan menolong. Satu jam perjalanan dari Dompu menuju Bima telah dilewati, akhirnya kami semua tiba untuk makan malam di restoran temannya Eza. Barang-barang diturunkan dari atas mobil. Menu bandeng bakar dan goreng khas Bima telah disediakan di meja makan. Lidah pun bergoyang tak kuasa melihat makanan yang disajikan. Setelah beres mengisi perut, kita semua kembali membereskan barang-barang dan diantar temannya Eza untuk bertemu dengan Bang Alan. 

Kembali lagi gw merasa beryukur kepada Tuhan, hanya karena Dia-lah gw dan teman-teman selalu mendapat pertolongan. Berperawakan tinggi, besar, dan rambut gondrong layaknya preman. Itulah ciri Bang Alan yang diceritakan Bang Guri. Ciri-cirnya begitu mudah ditebak saat pertama kali kita berjumpa. 

Ternyata eh ternyata, sosok yang menolong kita ini pernah mendapatkan  Kick Andy Heroes! Dia lah pahlawan dari Kota Bima, seorang supir truk yang membuat sekolah gratis bagi anak-anak tidak mampu. ”

Kalian menginap saja di rumah saya, tidur seadanya. Besok pagi saya carikan bus menuju Pelabuhan Sape.”

Baca juga 

How to get there:

Bus Sumbawa-Bima Rp 120.000,-/ org

*Jangan kaget bila naik bus disini. Walaupun kursi sudah terisi penuh, supir dan kenek bus selalu menarik penumpang di tengah jala. Jadi jangan kaget bila ada orang duduk di sela-sela kursi. Bahkan motor pun bisa masuk ke dalam bus.

Makan Rp 30.000,-

Pulau Kenawa Yang Selalu Tertawa. Cara Hemat Menuju Flores Part 6 (Overland Jawa-Flores)

Baca juga

Habis sudah malam terakhir gw di Lombok. Sisa keceriaan bersama teman baru masih terngiang di otak ini. Mengendarai motor dari langit masih gelap kembali lagi ke gelap, kulit pun yang semula coklat muda berubah menjadi kemerahan seperti kepiting rebus. Malam terakhir gw habiskan dengan berbincang di angkringan. Dengan menenggak segelas kopi panas, kita semua membahas rencana untuk melanjutkan perjalanan ke Pulau Kenawa, Sumbawa. Seperti rencana gw semula, dengan keuangan yang terbatas, gw membuat 2 meeting point yaitu Bali dan Lombok.

Pulau Kenawa  dan  Pulau Flores menjadi pertimbangan terakhir. Kegalauan terjadi di malam itu. Banyaknya ajakan untuk mengunjungi Pulau Kenawa membuat gw makin gelisah, disamping uang yang terbatas dan belum membeli tiket pesawat untuk pulang ke Bandung. Akhirnya kegalauan menggiring badan ini pergi ke ATM untuk membayar tiket. Rencana gw akan pulang dari Lombok sekitar tanggal 21 Agustus. Dan kejadian ini berlangsung di tanggal 14 Agustus. “Kita boleh menentukan, tapi Tuhan yang berkehendak.” Hati kecil ini berbicara.

Gw dan Bang Ginting ikut ke Pulau Kenawa sebagai Meeting Point terakhir. Duit yang tinggal 1.4xx.xxx ini membuat gw tau diri untuk tidak memaksakan diri pergi ke Flores. Bisa pergi tapi gak bisa pulang kan lucu juga ya?? Malam telah larut dan kita semua bergegas ke Rumah Singgah Lombok untuk melakukan packing terakhir. Mobil pengantar menuju Pelabuhan Kayangan di Lombok Timur sudah disiapkan oleh mamak. Begitu baiknya beliau membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan di rumah singgah ini. Tas punggung seukuran ‘kulkas’ sudah berdiri dengan gagahnya di ujung-ujung tembok seakan membuat barikade yang membatasi ruang gerak orang yang lalu lalang di dalam ruangan saat itu. Malam berlalu dengan cepatnya. Ketika semua orang masih terbuai dengan mimpi indahnya bersama selimut yang hangat, gw segera untuk pergi ke kamar mandi sebelum antrian untuk memakai kamar mandi mengular.

 

Ngangkutin barang dulu

Pukul 8.00 pagi, 15 orang peserta sudah siap dengan barang bawaan nya. Sebagian orang sarapan pagi dengan tahu tek-tek. Tahu dengan bumbu kacang layaknya kupat tahu di Bandung. Harganya pun lumayan murah, sepiring tahu tek-tek hanya 8000 rupiah. Bisa mengenyangkan perut minimal 1/2 hari. Hahaha Pukul 10.00 mobil Elf yang mengantarkan kita ke Pelabuhan Kayangan tiba. Satu per satu tas ‘kulkas’ diangkut ke atas Elf lalu di ikat. Kita semua berpamitan dengan mamak dan keluarga, berterima kasih telah menerima kami dengan tangan terbuka.

Suara deru mesin diesel memekak-kan telinga, pertanda saatnya bagi kami untuk mengucapkan salam perpisahan. Hingar bingar Kota Mataram perlahan memudar berganti menjadi hijaunya pepohonan dan sesekali bus AKAP (Antar Kota Antar Provinsi) berpapasan dengan elf yang kami tumpangi. Rasa kantuk tidak tertahankan seolah mata diberi solasi supaya mata ini terpejam. 2 jam berlalu begitu saja di dalam elf yang panas dan pengap layaknya sauna berjalan. Keringat membasahi sekujur tubuh. Angin sepoi-sepoi yang masuk melalui jendela rasanya tidak mempan menahan keringat yang terus bercucuran. Tidak lama setelah itu, sampailah kita di Pelabuhan Kayangan. Suasana begitu sepi di pelabuhan. Yang tampak hanya penjaja buah, rokok, dan beberapa souvenir. Panas yang cukup terik membuat kita semua bergegas mengambil tas masing-masing dan masuk ke dalam warteg sekaligus mengisi perut yang hanaya diganjal dengan seporsi tahu tek-tek.

Semua orang memesan berbagai jenis makanan dan makan dengan lahapnya. Wajah kucel dan ngantuk masih terpancar di wajah mereka semua. Dan menurut info, kapal menuju Pelabuhan Poto Tano Sumbawa akan berangkat pukul 14.00. Masih ada cukup waktu bagi kami untuk mandi, charge hp, dan tentunya berisitirahat.

“Mampus! Baterai kamera gw ketinggalan di Rumah Singgah. Matilah gw..” Celetuk Harival, teman seperjalanan dengan wajah cemas. “Coba telepon si Ubur, dia bisa antar ga?” Tambah Raisa. Dengan wajah panik, Harival segera menghubungi Ubur. Raut wajah semakin tidak menentu karena Ubur tidak segera mengangkat telepon nya. Dan!!! “Halo Bur, ini Harival. Bisa minta tolong ga?”

Percakapan serius berlangsung saat itu juga, dan ubur bersedia mengantarkan baterai kamera ke Pelabuhan Kayangan. Akhirnya kita semua membagi menjadi 2 tim. Tim pertama beranggotakan 10 orang dan tim kedua beranggotakan 5 orang. Tim pertama memutuskan  berangkat sesuai jadwal untuk menyiapkan hidangan makan malam. Sedangkan gw di tim kedua memtuskan berangkat pukul 16.00.

Matahari sudah condong ke timur, rombongan pertama berpamitan untuk berangkat terlebih dahulu. Selagi menunggu charger kamera datang, kita menghabiskan waktu dengan tidur-tiduran. Tidak lama kemudian, Ubur datang bersama temannya menggunakan motor.

Dengan wajah berkeringat, kami pun menyuruh mereka untuk makan dan minum. Peluit kapal meraung-raung di angkasa, pertanda waktunya untuk kita meninggalkan Pulau Seribu Masjid menuju Pulau Sumbawa. Kami semua bergegas pergi ke loket untuk membeli tiket dan berpamitan sekali lagi dengan Ubur. Sumbawa!! Kami datang!!

 

Bersiap Menyebrangi Pulau Sumbawa

Kapal Fery mulai menarik jangkarnya, berjalan perlahan menjauhi dermaga dengan asap hitamnya yang pekat. Alunan lagu dangdut menjadi teman selama perjalanan berlangsung serta bau wangi dari indomie begitu menggugah selera. Semburat cahaya matahari mulai turun membelakangi Gunung Rinjani yang cantik nan eksotis.

 

Melintasi Pulau Gusung saat menyebrang ke Sumbawa

Dua jam perjalanan tidak terasa. Canda dan tawa, mengobrol dengan bapak-bapak yang bertugas di kapal tentang keseharian nya bekerja di kapal. Bintang-bintang menemani perjalanan kami keluar dari dermaga. Dengan mengambil langkah seribu sambil membawa tas yang berat, terdengar sayup-sayup suara para calo memanggil menawarkan kapal untuk menyebrang ke Pulau Kenawa.

 

Siluet Gunung Rinjani yang elok

Panggilan tersebut tidak dihiraukan karena kami sudah mengantongi nomor telepon yang akan membawa kami menyebrangi. Kami berjalan keluar dermaga menjauhi terangnya lampu sorot menuju sebuah mini market untuk membeli perbekalan selama di pulau dan menunggu bapak yang akan menjemput kami.

Melihat ‘selimut’ bintang di atas awan

Langit begitu indah malam itu. Seakan meyambut kedatangan kami di Pulau Sumbawa dengan kerlap kerlip cahayanya. Dengan berjalan gontai membawa tas yang cukup berat ditambah rasa lelah, kami diarahkan untuk berjalan menuju sebuah dermaga kecil dimana terdapat perahu kecil yang siap membawa kami menyebrang ke Pulau Kenawa. Perahu kecil sudah menunggu diujung dermaga dengan lampu cempornya yang menyala-nyala. Dengan tas yang berat dan perahu yang bergoyang-goyang, cukup menyulitkan kami untuk meletakkan barang. Belum lagi atap dari kapal yang sangat pendek membuat kepala kami beberapa kali harus beradu dengan kayu. Perlahan tapi pasti, kapal mulai berjalan membelah gelapnya malam ditemani angin laut yang cukup dingin.

 

Ini lho yang namanya milkyway 🙂

 
Tidak sampai 1 jam, kami semua sampai di Pulau “impian” Kenawa. Tidak ada penerangan sama sekali di pulau itu, sehingga memaksa kami untuk menyalakan flashlight dari HP untuk membantu penerangan. Kami juga dibantu oleh teman-teman yang sudah dulu tiba, untuk membawakan barang-barang kami.

Semak ilalang yang tinggi serta tajam cukup merepotkan kami dalam berjalan. Terlihat dari kejauhan sinar dari api unggun yang dibuat teman-teman menambah asyik suasana camping di Pulau Kenawa.

Untuk informasi, terdapat beberapa gubuk yang bisa kita pakai di pulau ini. Sayangnya, kondisi gubuk yang tidak terawat dan cukup reyot membuat kita harus berhati-hati jika menggunakan tempat ini.

Sesampainya di gubuk, ternyata teman-teman sudah memasak nasi, ikan asin, dan indomie rubus untuk makan malam bersama. Segera kita menaruh barang bawaan dan mengambil “piring” berupa daun pisang untuk dijadikan alas. Menu sederhana ini begitu terasa mewah jika kita sedang berada di luar rumah dan berkumpul dengan rekan-rekan baru. Ditemani dengan cahaya api unggun serta dua buah lilin yang menyala, menambah “romantisme” pada malam itu.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 0.00, kami semua melihat “permadani” yang tampak begitu indah di langit Pulau Kenawa. Ya! Banyak orang setuju bahwa pulau ini menjadi surga bagi pemburu Milky Way. Dan di pulau inilah, gw pertama kali tau seperti apa bentuk Milky Way itu. Hehehe.. Dan seperti biasa, “peralatan perang” berupa kamera segera dikeluarkan dan kita pun beraksi!

Lagi dan lagi, malam yang sudah larut memaksa kami untuk segera beristirahat. Sepasang hammock digantung di antara dinding kayu dan beberapa sleeping bag dibaringkan berdekatan. Angin malam yang cukup kencang dan dingin membuat kami harus memakai jaket yang cukup tebal untuk menghangatkan badan.

Menjelajahi seluruh isi pulau dan musibah yang terjadi


Matahari pertama di Pulau Kenawa

Nikmatnya tidur di alam terbuka adalah kita bisa melihat langsung rona kemerahan dari cahaya matahari. Begitu indah bukan? Membuka mata langsung disuguhkan pemandangan yang indah. Suatu kenikmatan yang harus membuat kita terus bersyukur.

 

Inilah ‘hotel bintang 5’ ala kami

 

Jalur menuju puncak

Penasaran dengan keindahan pulau, membuat gw bangun lebih awal untuk bisa melihat kecantikan pulau yang terkenal lewat Instagram ini. Selain pulaunya, tempat ini juga memiliki dermaga yang biasa dijadikan “sasaran” bagi orang untuk berfoto.

 

Pasir putih bercampur birunya air laut

Ada yang mau loncat dari dermaga?

Gw pun melakukan hal yang sama dengan berfoto di ujung dermaga bersama Harival dan Bang Ginting. Yang unik di pulau ini adalah, terdapat ubur-ubur kecil berwarna merah muda. Tapi jangan di pegang ya, takut beracun. Hehehe.

 

Mengibarkan Merah Putih di ujung dermaga

Sedang asik menikmati udara pagi dan alunan air laut, tiba-tiba gw didorong dari atas dermaga oleh Harival. Dan sialnya, gw bawa HP di kantong celana!

“Byur..”

“Oi! Val! Gila Lo! Gw bawa hp ya!”

Masih di bawah air, gw segera mengambil HP dari kantong celana dan melemparkan ke atas dermaga lalu ditangkap oleh Harival. Segera gw keluar dari dalam air, mengambil HP dari tangan Harival dan belari menuju gubuk sambil meniup-niup supaya air laut keluar dari celah HP dengan wajah panik.

Rasa kesal, jengkel bercampur jadi satu. HP yang satu-satunya berfungsi sebagai alat komunikasi maupun untuk foto rusak sudah. Walaupun masih berfungsi, dering voice control yang terus menyala hampir membuat gw gila!!

 

View Pulau Kenawa dari puncak bukit

Beberapa gubuk dan toilet yang tidak terawat

Tidak mau larut dalam ke-jengkelan yang terus menerus, gw pun segera mengelilingi isi pulau dan berlari menuju bukit paling tinggi untuk melihat sekelilingnya.

 

We’re fun together

Suatu keberuntungan gw bisa mampir di pulau ini dan melihat keindahan yang disuguhkan. Namun perlahan gw sadari, terkenalnya pulau ini dari media sosial juga berdampak buruk. Banyak tumpukkan sampah yang tidak terangkut, bau pesing yang terasa menusuk hidung karena tidak adanya toilet yang memadai serta tidak adanya air untuk membilas membuat pulau ini begitu miris.

Tapi itulah positif dan negatif dari berkembangnya suatu tempat akibat media sosial, bagaimana kita menyingkapi semua itu. Jadilah traveler yang memiliki etika yang baik. Minimal dengan membuang sampah pada tempatnya. Gw yakin, apabila semua orang yang berkunjung ke pulau ini dan selalu membawa pulang sampah yang dibawanya. Pulau Kenawa akan terus tertawa dengan keindahan yang dimiliki.

How to get there

Elf Mataram –  Pelabuhan Kayangan Rp. 30.000,-/ org

Kapal Feri Pelabuhan Kayangan – Pelabuhan Pototano Rp. 20.000,-/ org

Kapal menuju Pulau Kenawa PP Rp. 20.000,-

Uang makan Rp. 30.000,-

 

 

Keliling Lombok yok! Cara Hemat Menuju Flores Part 5 (Overland Jawa-Flores)

Rasa lelah setelah menempuh perjalanan panjang dari Bali menuju Lombok coba gw atasi dengan tidur beralaskan karpet di Rumah Singgah Lombok. Di tempat ini terdapat 4 kamar tidur, 3 kamar mandi, dan 1 mushola. Sesuai peraturan yang tertera di sana, tamu perempuan boleh menempati kamar yang telah disediakan. Sedangkan tamu pria ‘diperbolehkan’ menempati ruang tengah, mushola, bahkan ada yang tidur di teras rumah.

 

Rumah Singgah, hotel mewah bagi kalangan backpacker

 

Pigura yang menjadi kenangan di Rumah Singgah

 

 

Groufie bersama mamak and the geng’s

 

Niat untuk tidur cepat sulit terlaksana karena banyaknya orang yang berkumpul dan bercerita mengenai perjalanan mereka selama di Lombok. Tapi rasa lelah dan kantuk tidak bisa gw lawan. Dengan segera gw membaringkan badan dan mengambil kain untuk menghindari gigitan nyamuk yang kegatelan karena melihat cowok ganteng.

Melihat kelambu alami di Air Terjun Benang Kelambu

Pukul 04.30 WITA, alarm berbunyi. Badan pegal dan waktu tidur serasa kurang. Tapi apa daya, gw harus mulai meng-eksploitasi keindahan Lombok dan tujuan pertama gw adalah Air Terjun Benang Kelambu. Excited!!

Welcome To Benang Kelambu Waterfalls

 

Udara dingin menusuk kulit, deru motor membelah sunyinya jalanan Kota Mataram. Cahaya lampu kota yang terang berganti dengan cahaya lampu kendaraan yang sesekali melintas. Sinar lembayung perlahan mulai mengeluarkan cahayanya di balik indahnya Gunung Rinjani.

Istirahat sebentar

 

Mengintip si ‘cantik’ Air Terjun Benang Kelambu

 

Tidak terasa sampailah gw di pos pintu masuk Air Terjun Benang Kelambu. Terlihat belum ada aktivitas di pos penjagaan yang berukuran cukup besar. Setelah memarkirkan motor, teman gw yang bernama Ikha atau akrab dipanggil Ubur-ubur mencoba mengetuk pintu pos. Lalu muncul lah sesosok pria dengan kupluk di kepalanya serta sarung yang menyelimuti badannya.

“Permisi pak, kita mau ke Air Terjun Benang Kelambu. Bayar tiket masuknya dimana ya?” Tanya Ubur dengan bahasa Lomboknya.

“Yang jaga tiket belum datang mbak. Nanti aja bayarnya kalau orangnya udah datang. Motornya disimpan disitu aja. Jangan lupa dikunci.” Lanjut bapak ber-kupluk ini.

Jalan setapak yang sudah dibeton dengan anak tangganya yang cukup tinggi membuat kita semua cukup terengah-engah pagi itu ditemani rindang dan sejuknya pepohonan. Suara burung bernyanyi merdu menyambut pagi yang cerah, monyet-monyet berkejar-kejaran diantara batang pohon yang menjulang tinggi.

Di tempat ini terdapat dua air terjun. Yang pertama Air Terjun Benang Stokel dan yang kedua Air Terjun Benang Kelambu. Karena Air Terjun Benang Stokel kurang oke untuk dijadikan objek foto, maka kita semua sepakat menghabiskan pagi di Air Terjun Benang Kelambu. Suara gemericik air perlahan mulai terdengar dari kejauhan. Tidak sabar raga ini untuk segera melihat ‘kelambu’ alami.

 

Rindangnya pepohonan di sekitar air terjun

 

Dan ternyata benar yang dikatakan orang-orang, air terjun ini bak kelambu yang tersibak oleh tiupan angin. Mendekati ke sumber jatuhnya air, butiran air terbang kesana kemari memberi kesejukan pada kami yang kelelahan meniti anak tangga. Air terjun ini terdapat tiga tingkatan yang berbeda-beda sesuai ketinggiannya. Ketinggian yang pertama sekitar 5 meter, ketinggian yang kedua sekitar 10 meter, dan yang terakhir sekitar 15 meter.

 

Lady in red

 

Yang unik dari air terjun ini selain bentuk yang seperti kelambu, terdapat kolam penampungan yang berguna untuk menampung aliran air yang berasal dari air terjun ini dan kita bisa berenang di kolam tersebut!

Bukit Merese, menikmati sunset yang manise

Sore hari perjalanan dilanjutkan menuju Tanjung Aan dan Bukit Merese dengan menggunakan sepedea motor dari Rumah Singgah di Kota Mataram yang memakan waktu kurang lebih 1 jam perjalanan. Ternyata eh ternyata, tempat ini tuh bersebelahan dan gak jauh-jauh banget. Konon katanya, Bukit Merese itu bagusnya didatengin pas rumputnya hijau dimana banyak kerbau yang berkeliaran buat cari makan. Tapi apa daya, waktu kita kesana rumputnya lagi kering-keringnya dan tidak tampak seekor kerbau pun yang melintas.

 

Hamparan biru

 

Groufie bersama teman se-petualangan



Aseli!! Bukit-bukit disini tuh keren banget! Gersang-gersang gimana gitu! Bisa buat kejar-kejaran ala fil India yang ada di TV. Heheheh. Duduk di bukit sambil minum segelas kopi ditemani semilirnya angin dan melihat warna merah merona dari matahari yang terbenam membuat suasana jadi melow. Hahaha

 

The best photo and style at Bukit Merese


Bermain di keringnya hutan Jerowaru

Lagi dan lagi.. Seakan tidak puas dengan keindahan bukit di Lombok. Gw dan teman-teman mencoba salah satu pantai di timur Lombok, mana lagi kalau bukan Pink Beach. 

Bang, ke Pantai Pink naik apa?” Tanya salah satu penjaga mini market.

“Naik motor bang!” Balas gw dengan lantang.

“Lha! Kesana tuh jauh bang. Trus jalannya jelek banget.”

“Waduh…”

Namanya bukan traveller kalau gak tahan dengan medan yang gak menentu. Motor kembali di arahkan ke aspal hitam nan halus, kecepatan  mulai dinaikkan bak pembalap MotoGp. Jalan yang semula halus berubah menjadi berlubang dan penuh debu. Mobil dan truk besar meniup butiran debu ke sekujur tubuh. Peluh keringat membasahi kening seakan ingin bermain dengan birunya air laut.

 

Sepinya tempat ini

 

Tapi ditengah-tengah offroad terdapat spot menarik yang patut untuk diabadikan. Hutan yang tengah meranggas di tengah kawasan yang konon katanya merupakan Kawasan Ekonomi Kreatif (KEK), karena tempat ini terdapat resort mewah dan beberapa sarana pendukung yang akan dibangun sebagai sebuah kawasan baru dan terpadu di Lombok Timur.

Pohon-pohon yang meranggas membuat imajinasi bermain liar, batang-batang menjulang tinggi ke angkasa, daun-daun berguguran layaknya bunga sakura di Jepang.

 

Pose wajib ! Backgenic!

 

Tanpa pikir panjang, kami segera memarkirkan motor di bahu jalan dan segera  memasang perlengkapan kamera. Lalu lalang serta panasnya siang itu tidak kami hiraukan, kami begitu menikmati hutan kering yang terhampar luas. Bahkan tidak jarang gw menjadi Tarzan dengan naik ke atas pohon.

Cliff jump di Pantai Pink, Tangsi

Memacu kendaraan menuju pantai pink diperlukan kesabaran ganda. Jalannya yang rusak berat bak sirkuit motorcross dan dengan memakai motor matic, serta panasnya yang menyengat dan debu yang bertebaran membuat kepala ingin pecah rasanya. Beruntung “penyiksaan”ini tidak berjalan lama. Di ujung jalan terdapat sebuah pos penjagaan dengan 2 orang yang berdiri dengan memakai baju hitam.

“Pantai pink belok kiri tinggal turun ke bawah.” Lanjut bapak yang menjaga pos sambil memberi kertas hijau sebagai tiket masuk.

Gradasi biru sudah tampak dari kejauhan, pedal gas dibiarkan lepas mengikuti jalanan yang menurun. Tidak sabar rasanya badan lengket ini terkena air laut yang segar.  Motor segera diparkirkan di bawah pohon. Tas ransel diletakkan. Beberapa teman mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya sambil memainkan lagu yang berbau ‘pantai’. Asap mengepul tinggi menikmati setiap hisapan sebatang rokok.

 

The three saroongers

 

Gw, bersama teman yang bernama Harival, Raisa, dan Ubur asyik bercengkrama dengan pasir pantai dan bermain dengan air laut yang tenang. Setiap sudut tidak lepas dari jepretan kamera. Panas terik tidak kami hiraukan karena ke-asyikan bermain.

 

Salah satu cara menikmati pantai, dengan hammockan di pohon

 

Jatuh cinta sama pasirnya

 

Beruntung kita membawa orang lokal Lombo yang bernama Zizo yang tahu tempat ‘tersembunyi’ di pantai ini. Kita semua diajak menaiki bukit untuk melihat Pantai Tangsi dari kejauhan yang begitu cantik. Tidak hanya itu, kita semua dibawa ke tebing karang dan ditantang untuk melakukan cliff jumping!!

 

Loncat engga, loncat engga..

 

Sebenernya dalam hati kecil gw serem juga buat loncat di tebing itu. Walaupun enggak terlalu tinggi, tapi lumayan juga kalau loncat. Karena di bawahnya banyak terumbu karang hidup. Salah loncat bukan cuma terumbu karangnya aja yang rusak. Tetapi juga kaki bakal ikutan lecet. Belum lagi banyak babi laut yang bertebaran menempel di batu karang yang bisa bikin meringis kalau tertusuk durinya. Tapi, kapan lagi bisa cliff jumping di Pantai Pink.. Mari loncat!! Wohoooo!!

 

Jump! Jump!! Jump!!!

 

How to get there

Rumah Singgah Lombok

Jl. Bangil V no 6. Taman Baru. Mataram

IG: @rumahsinggahlombok

Air Terjun Benang Kelambu: Rp. 4000,-/org

Pink Beach: Rp. 5000,-/ motor

Bukit Merese Rp. 5000,-/ motor

Sewa motor Rp. 60.000,-/ hari

Baca juga

Hallo Lombok!! Cara Hemat Menuju Flores Part 4 (Overland Jawa-Flores)

Setelah urusan di Bali selesai, gw bersama Bang Ginting berangkat menuju Lombok menggunakan motor ke Pelabuhan Padang Bai. Lumayan kan dapet tumpangan gratis cuy! Tapi eh tapi.. Di tengah perjalanan, motor yg gw tumpangi ban nya bocor. Gak tau nginjek paku, gatau beban motor yang kita tumpangi berat banget. Secara Bang Ginting bawa tas kamera yang gede banget dan gw bawa tas keril yang beratnya 10 kg. Kebayang tuh bawa beban selama perjalanan pegelnya kayak apa..  

 

Welcome to Padang Bai

 
 Beruntung kita gak perlu menunggu terlalu lama, kapal feri yang kita tumpangi segera berangkat. Perjalanan selama 2 jam dari Denpasar menuju Padang Bai dilanjutkan 4 jam perjalanan menyeberangi Selat Lombok. Dan biasa, “penyakit” gw pun muncul. Karena baru pertama kali menggunakan kapal feri ke Lombok membuat gw gak bisa tidur selama perjalanan. Beda sama Bang Ginting yang tidur manis di kursi ditemani dinginnya AC.

 

Pelabuhan aja airnya udah biru!


 

  

Perjalanan panjang ini gw lalui dengan berjalan mengelilingi isi kapal. Entah karena bosan atau exited ingin segera sampai di Pulau Seribu Masjid.

 

Pulau Lombok udah keliatan tuh!

 
Sekitar Pk 17.00 WITA, kapal segera merapat di Pelabuhan Lembar, Lombok. Sebelum kapal benar-benar bersandar, gw seperti mendapat ucapan selamat datang di Lombok berupa sunrise cantik berwarna kemerahan! So romantic!!  Tapi sayangnya momen ini gw lewati dengan seorang cowok. Hahahaha. 

 

Romantis kan sunset di atas kapal? Mau coba??

 
Just for your information, selama di Lombok gw akan menginap di Rumah Singgah (Rusing) Lombok Backpacker dan akan menghabiskan waktu kurang lebih 3 hari untuk mengeksplorasi keindahan Lombok.

Beruntung kita hidup di zaman teknologi yang serba canggih, mencari alamat pun langsung klik dengan jempol! Hasilnya!!! Tetep nyasar juga sih.. Hahahaha. Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak di inginkan karena kita pun sudah sangat lelah, akhirnya kita memakai GPS (Gunakan Penduduk Sekitar).

Langit beranjak gelap, perut lapar, badan pegal menahan beban tas yang berat sampai kaki mati rasa akibat kesemutan, muka kumel gak jelas semua jadi satu. Mata terus memelototi layar HP yang terus bergerak mengikuti penunjuk arah.

Dan akhirnya perjuangan pun usai. Terletak di dalam sebuah komplek perumahan di Jalan Sriwijaya Kota Mataram, kami pun segera membelokkan motor untuk menuju ke TKP. Sebenarnya gw masih belum mengerti kenapa dinamakan rumah singgah. Tapi setelah memarkirkan motor dan masuk, gw menemukan tas-tas keril segede kulkas, dan begitu banyak orang yang berada di rumah ini. Selidik punya selidik kebanyakn dari mereka adalah tipe backpackeran sama seperti gw. Yang ikut menumpang di rumah ini hanya sementara waktu.

How to get there:

Makan: Rp. 10.000,-

Motor : Rp. 50.000,-

Feri Padang Bai- Lembar: Rp. 135.00,- (motor dan termasuk 2 orang penumpang)

Kembali ke Bali, Cara Hemat Menuju Flores Part 3 (Overland Jawa-Flores)

Malam begitu dingin sekali saat itu. Cahaya bintang tidak begitu menampakkan sinarnya yang terhalang oleh awan. Sesekali sorot dari lampu mobil menyinari kami yang duduk bertiga di belakang mobil dan berusaha menahan kantuk.

Melewati tingkungan yang cukup tajam, mobil tiba-tiba mengurangi kecepatan dan ternyata ada pemeriksaan kendaraan yang dilakukan oleh kepolisian. Kami bertiga yang duduk di belakang menjadi panik dan sudah berinisiatif u tuk mengeluarkan uang apabila petugas memintanya

Setelah mobil berhenti, bapak sang empunya mobil pun keluar untuk segera menemui polisi.

“Malam pak, boleh lihat surat-suratnya?” Kata pak polisi sambil memandangi kami bertiga.

“Ini pak suratnya..” Sambil mengeluarkan dar dompet.

“Ini di bawah terpal bawa apa ya? Coba saya lihat? Lalu 3 orang ini siapa? Kok duduknya di mobil?”

Duh si bapak polisi banyak nanya banget (dalam hati kecil gw)..

“Ini pak, saya kebetulan kerja sebagai tukang mebel di Surabaya, lalu ketemu 3 orang ini di atas kapal. Mereka mau ke Denpasar dan Gilimanuk tapi udah gak ada kendaraan. Ya udah saya bantu antarkan mereka sampai dapat bus.”

Dan lagi-lagi bapak baik hati ini, tidak mau menerima uang pengganti tilang.

—-

Perjalanan dilanjutkan kembali, sebatang rokok tidak mampu menghangatkan tubuh. Jaket tebal tidak mampu menahan udara yang begitu dingin ditambah hujan rintik-rintik yang membuat tubuh kami mengigil kediginan. Karena lelah, gw pun sampai tertidur di atas tumpukkan kayu yang ditutupi terpal.

Dek bangun kita udah sampai di Denpasar, di sebelah Bali Med Hospital. Kosanmu dimana? Melihat jam di HP, waktu menunjukkan pukul 04.00 dini hari. Gw pun berusaha bangun dari mimpi untuk menemukan alamat kos yang gw tuju.

“Sa..Vi.. Lu gak mau istirahat dulu di kosan gw? Ntar pagi langsung cari kendaraan ke Gilimanuk?”

Ajakan lembut dari gw, ditolaknya secara halus. Mereka pun tetap memutuskan berangkat bersama bapak pembawa pick up.

—-

Beruntung gw punya kenalan anak instagram hits asal Bali, namanya Ginting Efraim atau biasa gw sebut Bang Ginting atau Bang Aim. Pukul 16.00 dia berencana membawa gw jalan ke Pura Batu Bolong di dekat Tanah Lot. Maklum karena dia landscape photographer, dia menyukai suasana sore atau bahkan pagi buta sekalian. Kalo buat gw sih, cuma punya kamera HP pastinya mati kutu. Hehehe

Salah satu aturan wajib, ya selfie dulu

  

Sayangnya pada saat trip ini gw jarang ngambil foto. Karena sampe TKP udah gelap, jadi ya gak ambil apa-apa.. Hikss

How to get there

Biaya pick up        : Rp. 0.00,-

Makan  3x sehari : Rp. 8.000,-

Motor                      : Rp. 0.00,-

Tiket masuk          : Rp. 0.00,-

Kos 2 malam.       : Rp. 300.000,-

Hitchiking Pertama, Cara Hemat Menuju Flores Part 2 (Overland Jawa-Flores)

Perjalanan 13 jam berlalu sudah. Melewati 3 provinsi dan beberapa kota membuat gw menyadari bahwa perjalanan darat sangatlah melelahkan. Tapi dari perjalanan inilah gw bisa menikmati beberapa kota dalam jangka waktu 1 hari aja. Ya… Walaupun dari dalem kereta. He.. He.. He..

Setelah selesai membeli 3 bungkus nasi di warung, gw, Raisa, dan Piyo berjalan menuju Pelabuhan Ketapang. Pelabuhan yang biasanya ramai pada siang hari, berubah menjadi sepi di malam hari. kami pun segera bergegas mencari loket pembelian tiket supaya dapat menyebrang ke Gilimanuk, Bali.

“Pak, kapal ke Gilimanuk yang mana?” Tanya gw.

“Itu yang di dermaga 2..” Kata Bapak berjaket hitam.

Pluit kapal bernyanyi dengan kerasnya sampai memekakkan telinga. Kita semua bergegas lari menuju kapal dengan tas yang sangat besar dan berat. Beruntunglah ketika sampai di atas kapal, tidak banyak penumpang di dalamnya. Setelah menaiki anak tangga, berkeliling mencari tempat yang pas buat duduk, akhirnya kita memilih duduk di dek tertutup di atas dengan angin yang cukup besar malam itu.

Tidak berapa lama, Pk 10.00 kapal mulai menaikkan sauhnya tanda akan berangkat. Kurang lebih dibutuhkan waktu 45 menit untuk sampai di Pelabuhan Gilimanuk. Cahaya lampu mulai terlihat mengecil bagaikan kunang-kunang. Perjalanan panjang akan kembali dimulai.

Cacing diperut sudah mulai memanggil. Bungkus nasi yang masih hangat dibuka dan ditaburi dengan kering tempe yang gw bawa dari rumah.

“Beuh.. Enak banget. Walaupun cuma nasi sama kering tempe udah mewah banget. Ya, walaupun seret juga makannya.” Kata Piyo yang membuat kami tertawa di atas kapal. Memecah dinginnya malam itu.

Sesudah beres makan, Raisa mencoba berjalan-jalan dengan mengelilingi sisi kapal. Cukup lama dia enggak kembali ke tempat kami duduk. Gw pun berusaha mencari keberadaannya, takut terjadi apa-apa (maklum gw cowo paling ganteng disini). Setelah berputar-putar mencari Raisa, akhirnya gw menemukan dia sedang asyik berbincang dengan seorang Bapak. Setelah tahu keberadaannya, gw pun kembali ke kursi dimana kami berkumpul.

Tiba-tiba Raisa datang dan menghampiri kami..

“Tadi ada Bapak-Bapak nanyain kita mau kemana.. Gw sama Piyo mau ke Pelabuhan Padang Bai, sedangkan temen yang cowo mau ke Denpasar karena ada urusan.”

“Bapaknya tadi bilang, malem-malem begini udah gak ada bus yang ke Padang Bai. Dia nawarin kita buat ikut bareng mobilnya dan kebetulan rumahnya di Karangasem, jadi sejalur. Gimana mau enggak?” Tanya Raisa kepada gw dan Piyo.

“Kalo gw sih jujur, enggak berani. Gw bawa cewek kalo ada apa-apa gimana nanti? Lagian kita juga gatau kayak gimana orangnya” Kata gw dengan sedikit memberi masukkan.

“Ya kalo kalian mau, kalian berdua aja bareng bapak itu. Gw naik bus aja ke Denpasar. Santai aja (sebenernya gw takut pergi sendiri malam itu).”

“Udah mending gini deh.. Kita udah capek, lebih baik jangan pergi misah-misah. Lebih baik kita berdua bareng Bang Ashadi dulu aja. Kalau ada bus yang ke Padang Bai baru kita berenti.” Kata Piyo

Setelah berdiskusi cukup alot, Raisa mencoba mencari Bapak tadi untuk menolak ajakannya dan kita memutuskan untuk pergi bersama.

“Kebetulan di bawah ada sodara saya. Dia orang travel, dan tujuannya ke Denpasar. Kalo mau kita ke bawah.” Ajak si Bapak.

Kapal kembali membunyikan peluitnya, lampu pelabuhan mulai terlihat jelas. Kita pun segera turun mencari mobil yang dimaksud. Ternyata mobil travel tersebut sudah penuh dengan orang dan hanya bisa dimasuki oleh 2 orang saja. Belum dengan tas kita yang begitu besar.

Kita semua kembali berdebat perihal kendaraan. Pk 0.00 tengah malam kapal mulai bersandar di Gilimanuk. Kami semua bergegas keluar mencari tahu keberadaan bus yang bisa memberangkatkan kami ke Denpasar.

“Dek.. Kalau belum nemu kendaraan, saya tunggu di pintu kluar ya.” Kata Bapak tadi sambil membawa kendaraannya.

Dengan gerak cepat, kami menyusuri pelabuhan berharap menemukan bus yang kami tuju. Dan ternyata hasilnya nihil, sampai kita menemukan pintu keluar.

“Jam segini emang udah gak ada bus. Itu di depan mobil Bapak bukan?” Tanya Piyo.

“Yaudah yuk kita naik mobilnya dulu, kalau ada bus di jalan baru kita berenti.” Kata Raisa.

Kami pun segera berlari, tidak mempedulikan seberapa berat tas yang kami pikul. Dengan nafas terengah-engah, kami mencoba meminta ijin untuk menumpang dan minta diturunkan apabila ada bus yang lewat.

“Pak, maap kami numpang ya. kalu ada bus yang lewat, nanti kita berenti aja.” Kata gw sambil melihat isi mobil pick up tersebut dan melihat ada seorang Ibu beserta seorang anak yang ternyata keluarga dari Bapak tersebut.

“Berapa kita harus bayar ini semua, Pak?” Tanya Raisa.

“Udah enggak usah bayar. Saya pernah merantau dan mengalami kejadian seperti kalian. Pokoknya kalian ikut dulu aja, tapi maap duduknya di belakang ya..” Ucap si Bapak.

Sontak mendengar perkataan tersebut, hati kami tersentuh. Masih banyak orang baik di luar sana yang mau memberi tumpangan dengan orang yang tidak dikenalnya. Ternyata si Bapak bersama keluarganya baru pulang dari Surabaya dan bekerja sebaai tukang furniture

Kami semua naik ke pick up dengan beratapkan bintang-bintang serta hawa yang menusuk kulit. Ini pengalaman pertama gw hitchiking dan ternyata sangat menyenangkan. Perjalanan ditempuh sekitar 1jam 30 menit menuju Denpasar, ke tempat dimana gw sudah memesan penginapan.

Pukul 03.00 dini hari, kita berhasil menemukan penginapan yang gw tuju. Gw mencoba membujuk Raisa dan Piyo untuk beristirahat sebentar dan melanjutkan perjalanan ke Gilimanuk ketika sudah terang. Ternyata mereka lebih memilih melanjutkan perjalanan ke Padang Bai dan akan beristirahat di pelabuhan.

“Oke kalo gitu, hati-hati ya kalian. Sampai berjumpa di Lombok”

Sayangnya gw belum sempat menanyakan nama dari Bapak tsb, semoga beliau selalu diberi kesehatan dan berkat yg berlebih bagi keluarganya

Dan perjalanan pun masih berlanjut…

How to get there

Tiket Pelni Rp 7.500

Biaya pick up Rp. 0.00