Pulau Kenawa Yang Selalu Tertawa. Cara Hemat Menuju Flores Part 6 (Overland Jawa-Flores)

Baca juga

Habis sudah malam terakhir gw di Lombok. Sisa keceriaan bersama teman baru masih terngiang di otak ini. Mengendarai motor dari langit masih gelap kembali lagi ke gelap, kulit pun yang semula coklat muda berubah menjadi kemerahan seperti kepiting rebus. Malam terakhir gw habiskan dengan berbincang di angkringan. Dengan menenggak segelas kopi panas, kita semua membahas rencana untuk melanjutkan perjalanan ke Pulau Kenawa, Sumbawa. Seperti rencana gw semula, dengan keuangan yang terbatas, gw membuat 2 meeting point yaitu Bali dan Lombok.

Pulau Kenawa  dan  Pulau Flores menjadi pertimbangan terakhir. Kegalauan terjadi di malam itu. Banyaknya ajakan untuk mengunjungi Pulau Kenawa membuat gw makin gelisah, disamping uang yang terbatas dan belum membeli tiket pesawat untuk pulang ke Bandung. Akhirnya kegalauan menggiring badan ini pergi ke ATM untuk membayar tiket. Rencana gw akan pulang dari Lombok sekitar tanggal 21 Agustus. Dan kejadian ini berlangsung di tanggal 14 Agustus. “Kita boleh menentukan, tapi Tuhan yang berkehendak.” Hati kecil ini berbicara.

Gw dan Bang Ginting ikut ke Pulau Kenawa sebagai Meeting Point terakhir. Duit yang tinggal 1.4xx.xxx ini membuat gw tau diri untuk tidak memaksakan diri pergi ke Flores. Bisa pergi tapi gak bisa pulang kan lucu juga ya?? Malam telah larut dan kita semua bergegas ke Rumah Singgah Lombok untuk melakukan packing terakhir. Mobil pengantar menuju Pelabuhan Kayangan di Lombok Timur sudah disiapkan oleh mamak. Begitu baiknya beliau membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan di rumah singgah ini. Tas punggung seukuran ‘kulkas’ sudah berdiri dengan gagahnya di ujung-ujung tembok seakan membuat barikade yang membatasi ruang gerak orang yang lalu lalang di dalam ruangan saat itu. Malam berlalu dengan cepatnya. Ketika semua orang masih terbuai dengan mimpi indahnya bersama selimut yang hangat, gw segera untuk pergi ke kamar mandi sebelum antrian untuk memakai kamar mandi mengular.

 

Ngangkutin barang dulu

Pukul 8.00 pagi, 15 orang peserta sudah siap dengan barang bawaan nya. Sebagian orang sarapan pagi dengan tahu tek-tek. Tahu dengan bumbu kacang layaknya kupat tahu di Bandung. Harganya pun lumayan murah, sepiring tahu tek-tek hanya 8000 rupiah. Bisa mengenyangkan perut minimal 1/2 hari. Hahaha Pukul 10.00 mobil Elf yang mengantarkan kita ke Pelabuhan Kayangan tiba. Satu per satu tas ‘kulkas’ diangkut ke atas Elf lalu di ikat. Kita semua berpamitan dengan mamak dan keluarga, berterima kasih telah menerima kami dengan tangan terbuka.

Suara deru mesin diesel memekak-kan telinga, pertanda saatnya bagi kami untuk mengucapkan salam perpisahan. Hingar bingar Kota Mataram perlahan memudar berganti menjadi hijaunya pepohonan dan sesekali bus AKAP (Antar Kota Antar Provinsi) berpapasan dengan elf yang kami tumpangi. Rasa kantuk tidak tertahankan seolah mata diberi solasi supaya mata ini terpejam. 2 jam berlalu begitu saja di dalam elf yang panas dan pengap layaknya sauna berjalan. Keringat membasahi sekujur tubuh. Angin sepoi-sepoi yang masuk melalui jendela rasanya tidak mempan menahan keringat yang terus bercucuran. Tidak lama setelah itu, sampailah kita di Pelabuhan Kayangan. Suasana begitu sepi di pelabuhan. Yang tampak hanya penjaja buah, rokok, dan beberapa souvenir. Panas yang cukup terik membuat kita semua bergegas mengambil tas masing-masing dan masuk ke dalam warteg sekaligus mengisi perut yang hanaya diganjal dengan seporsi tahu tek-tek.

Semua orang memesan berbagai jenis makanan dan makan dengan lahapnya. Wajah kucel dan ngantuk masih terpancar di wajah mereka semua. Dan menurut info, kapal menuju Pelabuhan Poto Tano Sumbawa akan berangkat pukul 14.00. Masih ada cukup waktu bagi kami untuk mandi, charge hp, dan tentunya berisitirahat.

“Mampus! Baterai kamera gw ketinggalan di Rumah Singgah. Matilah gw..” Celetuk Harival, teman seperjalanan dengan wajah cemas. “Coba telepon si Ubur, dia bisa antar ga?” Tambah Raisa. Dengan wajah panik, Harival segera menghubungi Ubur. Raut wajah semakin tidak menentu karena Ubur tidak segera mengangkat telepon nya. Dan!!! “Halo Bur, ini Harival. Bisa minta tolong ga?”

Percakapan serius berlangsung saat itu juga, dan ubur bersedia mengantarkan baterai kamera ke Pelabuhan Kayangan. Akhirnya kita semua membagi menjadi 2 tim. Tim pertama beranggotakan 10 orang dan tim kedua beranggotakan 5 orang. Tim pertama memutuskan  berangkat sesuai jadwal untuk menyiapkan hidangan makan malam. Sedangkan gw di tim kedua memtuskan berangkat pukul 16.00.

Matahari sudah condong ke timur, rombongan pertama berpamitan untuk berangkat terlebih dahulu. Selagi menunggu charger kamera datang, kita menghabiskan waktu dengan tidur-tiduran. Tidak lama kemudian, Ubur datang bersama temannya menggunakan motor.

Dengan wajah berkeringat, kami pun menyuruh mereka untuk makan dan minum. Peluit kapal meraung-raung di angkasa, pertanda waktunya untuk kita meninggalkan Pulau Seribu Masjid menuju Pulau Sumbawa. Kami semua bergegas pergi ke loket untuk membeli tiket dan berpamitan sekali lagi dengan Ubur. Sumbawa!! Kami datang!!

 

Bersiap Menyebrangi Pulau Sumbawa

Kapal Fery mulai menarik jangkarnya, berjalan perlahan menjauhi dermaga dengan asap hitamnya yang pekat. Alunan lagu dangdut menjadi teman selama perjalanan berlangsung serta bau wangi dari indomie begitu menggugah selera. Semburat cahaya matahari mulai turun membelakangi Gunung Rinjani yang cantik nan eksotis.

 

Melintasi Pulau Gusung saat menyebrang ke Sumbawa

Dua jam perjalanan tidak terasa. Canda dan tawa, mengobrol dengan bapak-bapak yang bertugas di kapal tentang keseharian nya bekerja di kapal. Bintang-bintang menemani perjalanan kami keluar dari dermaga. Dengan mengambil langkah seribu sambil membawa tas yang berat, terdengar sayup-sayup suara para calo memanggil menawarkan kapal untuk menyebrang ke Pulau Kenawa.

 

Siluet Gunung Rinjani yang elok

Panggilan tersebut tidak dihiraukan karena kami sudah mengantongi nomor telepon yang akan membawa kami menyebrangi. Kami berjalan keluar dermaga menjauhi terangnya lampu sorot menuju sebuah mini market untuk membeli perbekalan selama di pulau dan menunggu bapak yang akan menjemput kami.

Melihat ‘selimut’ bintang di atas awan

Langit begitu indah malam itu. Seakan meyambut kedatangan kami di Pulau Sumbawa dengan kerlap kerlip cahayanya. Dengan berjalan gontai membawa tas yang cukup berat ditambah rasa lelah, kami diarahkan untuk berjalan menuju sebuah dermaga kecil dimana terdapat perahu kecil yang siap membawa kami menyebrang ke Pulau Kenawa. Perahu kecil sudah menunggu diujung dermaga dengan lampu cempornya yang menyala-nyala. Dengan tas yang berat dan perahu yang bergoyang-goyang, cukup menyulitkan kami untuk meletakkan barang. Belum lagi atap dari kapal yang sangat pendek membuat kepala kami beberapa kali harus beradu dengan kayu. Perlahan tapi pasti, kapal mulai berjalan membelah gelapnya malam ditemani angin laut yang cukup dingin.

 

Ini lho yang namanya milkyway 🙂

 
Tidak sampai 1 jam, kami semua sampai di Pulau “impian” Kenawa. Tidak ada penerangan sama sekali di pulau itu, sehingga memaksa kami untuk menyalakan flashlight dari HP untuk membantu penerangan. Kami juga dibantu oleh teman-teman yang sudah dulu tiba, untuk membawakan barang-barang kami.

Semak ilalang yang tinggi serta tajam cukup merepotkan kami dalam berjalan. Terlihat dari kejauhan sinar dari api unggun yang dibuat teman-teman menambah asyik suasana camping di Pulau Kenawa.

Untuk informasi, terdapat beberapa gubuk yang bisa kita pakai di pulau ini. Sayangnya, kondisi gubuk yang tidak terawat dan cukup reyot membuat kita harus berhati-hati jika menggunakan tempat ini.

Sesampainya di gubuk, ternyata teman-teman sudah memasak nasi, ikan asin, dan indomie rubus untuk makan malam bersama. Segera kita menaruh barang bawaan dan mengambil “piring” berupa daun pisang untuk dijadikan alas. Menu sederhana ini begitu terasa mewah jika kita sedang berada di luar rumah dan berkumpul dengan rekan-rekan baru. Ditemani dengan cahaya api unggun serta dua buah lilin yang menyala, menambah “romantisme” pada malam itu.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 0.00, kami semua melihat “permadani” yang tampak begitu indah di langit Pulau Kenawa. Ya! Banyak orang setuju bahwa pulau ini menjadi surga bagi pemburu Milky Way. Dan di pulau inilah, gw pertama kali tau seperti apa bentuk Milky Way itu. Hehehe.. Dan seperti biasa, “peralatan perang” berupa kamera segera dikeluarkan dan kita pun beraksi!

Lagi dan lagi, malam yang sudah larut memaksa kami untuk segera beristirahat. Sepasang hammock digantung di antara dinding kayu dan beberapa sleeping bag dibaringkan berdekatan. Angin malam yang cukup kencang dan dingin membuat kami harus memakai jaket yang cukup tebal untuk menghangatkan badan.

Menjelajahi seluruh isi pulau dan musibah yang terjadi


Matahari pertama di Pulau Kenawa

Nikmatnya tidur di alam terbuka adalah kita bisa melihat langsung rona kemerahan dari cahaya matahari. Begitu indah bukan? Membuka mata langsung disuguhkan pemandangan yang indah. Suatu kenikmatan yang harus membuat kita terus bersyukur.

 

Inilah ‘hotel bintang 5’ ala kami

 

Jalur menuju puncak

Penasaran dengan keindahan pulau, membuat gw bangun lebih awal untuk bisa melihat kecantikan pulau yang terkenal lewat Instagram ini. Selain pulaunya, tempat ini juga memiliki dermaga yang biasa dijadikan “sasaran” bagi orang untuk berfoto.

 

Pasir putih bercampur birunya air laut

Ada yang mau loncat dari dermaga?

Gw pun melakukan hal yang sama dengan berfoto di ujung dermaga bersama Harival dan Bang Ginting. Yang unik di pulau ini adalah, terdapat ubur-ubur kecil berwarna merah muda. Tapi jangan di pegang ya, takut beracun. Hehehe.

 

Mengibarkan Merah Putih di ujung dermaga

Sedang asik menikmati udara pagi dan alunan air laut, tiba-tiba gw didorong dari atas dermaga oleh Harival. Dan sialnya, gw bawa HP di kantong celana!

“Byur..”

“Oi! Val! Gila Lo! Gw bawa hp ya!”

Masih di bawah air, gw segera mengambil HP dari kantong celana dan melemparkan ke atas dermaga lalu ditangkap oleh Harival. Segera gw keluar dari dalam air, mengambil HP dari tangan Harival dan belari menuju gubuk sambil meniup-niup supaya air laut keluar dari celah HP dengan wajah panik.

Rasa kesal, jengkel bercampur jadi satu. HP yang satu-satunya berfungsi sebagai alat komunikasi maupun untuk foto rusak sudah. Walaupun masih berfungsi, dering voice control yang terus menyala hampir membuat gw gila!!

 

View Pulau Kenawa dari puncak bukit

Beberapa gubuk dan toilet yang tidak terawat

Tidak mau larut dalam ke-jengkelan yang terus menerus, gw pun segera mengelilingi isi pulau dan berlari menuju bukit paling tinggi untuk melihat sekelilingnya.

 

We’re fun together

Suatu keberuntungan gw bisa mampir di pulau ini dan melihat keindahan yang disuguhkan. Namun perlahan gw sadari, terkenalnya pulau ini dari media sosial juga berdampak buruk. Banyak tumpukkan sampah yang tidak terangkut, bau pesing yang terasa menusuk hidung karena tidak adanya toilet yang memadai serta tidak adanya air untuk membilas membuat pulau ini begitu miris.

Tapi itulah positif dan negatif dari berkembangnya suatu tempat akibat media sosial, bagaimana kita menyingkapi semua itu. Jadilah traveler yang memiliki etika yang baik. Minimal dengan membuang sampah pada tempatnya. Gw yakin, apabila semua orang yang berkunjung ke pulau ini dan selalu membawa pulang sampah yang dibawanya. Pulau Kenawa akan terus tertawa dengan keindahan yang dimiliki.

How to get there

Elf Mataram –  Pelabuhan Kayangan Rp. 30.000,-/ org

Kapal Feri Pelabuhan Kayangan – Pelabuhan Pototano Rp. 20.000,-/ org

Kapal menuju Pulau Kenawa PP Rp. 20.000,-

Uang makan Rp. 30.000,-

 

 

2 comments

  1. BaRTZap · Februari 29, 2016

    Camping di Kenawa ini bayar gak? Gak pernah overload ya tempat ini, secara terkenal banget sekarang ini.
    Btw fotomu bagus-bagus, tajam dan saturasinya juga kental, pakai kamera apa?

    Suka

    • ashadinatha · Februari 29, 2016

      Dulu si masih gratis. Gak tau kl sekarang. Dermaga nya jg udah di renovasi mas. Buat foto, cuma pake kamera hp aja

      Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar