Pulau Kaniungan, Pendar Tersembunyi di Bawah Garis Khatulistiwa

Kepulauan Derawan, mungkin nama pulau ini sudah begitu akrab di kalangan para pejalan. Kepulauan yang terletak di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur ini memiliki sejumlah objek wisata bahari yang menawan. Maka tidak heran baik wisatawan asing maupun lokal membanjiri tempat ini untuk melihat keindahan bawah lautnya secara langsung, begitu pun dengan saya.

Sebenarnya tanah Kalimantan menjadi destinasi impian saya setelah Pulau Flores. Maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai, impian tersebut urung diwujudkan karena masalah klasik yaitu kurangnya dana. Beruntung ketika saya berpetualang di Flores, saya berkenalan dengan seorang teman yang juga memiliki usaha tour and travel di Kepulauan Derawan. Chan, begitu dia sering disapa mencoba mengajak dan meyakinkan saya untuk berpetualang di tempat yang terkenal dengan gugusan pulau dengan hamparan pasir yang luas.

Spontan jari saya menari di atas layar ponsel untuk mencari tiket yang bisa membawa saya terbang dari Surabaya menuju Berau. Dan lagi-lagi keberuntungan berpihak, saya berhasil mendapatkan tiket dengan harga yang pas dikantong bersama NAM AIR yang akan membawa saya langsung menuju Berau. Dengan usia pesawatnya yang relatif masih muda, flight attendant yang ramah dan profesional, serta menu meal on board yang disajikan membuat perjalanan selama kurang lebih dua jam di dalam pesawat menjadi tidak terasa.

 Tiba di Bandara Kalimarau Berau hawa panas menyambut kami seakan-akan ingin mengucapakan selamat datang di Maldiven Van Borneo, julukan dari Kabupaten Berau. Beruntung mobil jemputan kami sudah menanti di terminal kedatangan, segera kami meletakkan barang di bagasi dan masuk ke dalam mobil untuk bertemu dengan hawa dingin dari air conditioner bersiap menikmati perjalanan selama 3 jam lamanya menuju Pelabuhan Tanjung Batu.

Water Villa Yang Berjajar Di Pinggir Pulau Derawan

Perkebunan sawit, sisa pohon yang terbakar, debu yang beterbangan serta hilir mudik mobil proyek sudah menjadi hal yang awam disini. Miris rasanya melihat semua pemandangan ini. Tanah Kalimantan yang begitu kaya hancur begitu saja di tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab demi sebuah keuntungan. Apa daya saya hanya bisa melihat semua ini dari dalam mobil dan perjalan terus berlanjut membelah perbukitan di Tanah Borneo.

 Sebenarnya ada dua cara untuk menuju Kepulauan Derawan ini, yang pertama melalui Tarakan dan yang kedua melalui Berau. Jalur kedua ini saya ambil karena jarak tempuh yang tidak terlalu jauh dan tentunya menghemat waktu.

 Setibanya di Pelabuhan Tanjung Batu, teman saya Chan menghampiri Pak Bahril yang akan mengantarkan kami menuju Pulau Derawan. Langit sedikit mendung sore itu dan lautpun sedikit bergelombang. “Perjalanan dari Tanjung Batu ke Derawan sekitar 20 menit.” Begitu kata Pak Basril.

 Dengan segera Pak Basril mengemudikan “mobil laut”nya meninggalkan Pelabuhan Tanjung Batu membelah gelombang yang sedang menari-nari sore itu. Sambil berdiri, beliau memperhatikan arah gelombang dengan seksama untuk menghindari batang kayu yang melintang di atas permukaan laut.

 Menjejakkan kaki di Maldives-nya Indonesia, Derawan

 Kira-kira pukul 17.30 WITA, kami tiba di Pulau Derawan. Hati senang tak terkira bisa berdiri di pulau ini. Sungguh impian yang terwujud, teriak hati kecil saya. Segera saya pergi menuju sebuah homestay yang cukup ternama dengan konsep water villa yang unik. Cukup membayar 200 ribu rupiah, kita bisa menikmati kamar bersih lengkap dengan air conditioner nya. Sunset pertama menjadi incaran saya di pulau ini, maka tidak perlu waktu lama bagi saya untuk bergegas pergi menuju ujung dermaga ini.

 Angin sepoi-sepoi membuat saya melupakan sejenak perjalanan yang melelahkan. Sesekali melihat kawanan penyu yang sedang mencari makan di bawah dermaga menjadi pemandangan menarik yang menunjukkan bahwa lingkungan disini masih terjaga dengan baik.

 Malam pun datang, cacing-cacing diperut ini mulai gelisah untuk minta diberi makan. Ditemani teman saya Chan, segera saya menelusuri jalan kampung yang lengang untuk mencari makan. Layaknya tempat wisata bahari, makanan seafood selalu menjadi menu andalan. Semilir angin cukup mengusir suasana gerah malam itu.


Dengan perut yang kekenyangan, kami kembali homestay untuk berisitirahat. Tampak dari kejauhan, beberapa sosok laki-laki tampak asik berbincang sambil sesekali menghisap sebatang rokok yang ada di jemarinya. Dan ternyata mereka semua adalah travel planner yang khusus membawahi tempat-tempat wisata di Derawan. Mas Harry atau Bang Apoy, begitu dia disapa menyambut kami dengan hangat. Secangkir kopi panas menjadi penyambung cerita maksud dan tujuan saya ke tempat ini, bisa keliling pulau dengan budget.

Pasir Gusung Yang Luas Menjadi Daya Tarik Di Pulau Derawan

“Besok sih kita rencana mau survey tempat ke Pulau Kaniungan, kalau kalian mau, ikutan share cost aja. Itung-itung bayar solar.” Celoteh Bang Apoy.

 Tanpa pikir panjang, saya pun mengiyakan ajakan tersebut.

 Terpencil Di Pulau Kecil, Kaniungan

 Rasa penasaran terus berputar di otak saya tentang tempat tersebut. Pukul 09.00 WITA, Bang Apoy ditemani dengan dua orang teman Bang Ringga dan Mas Aziz sibuk membawa drum berisi solar sebagai simpanan bahan bakar selama perjalanan. Setelah semuanya beres, kami siap mengarungi lautan lepas menuju Pulau Kaniungan.

Rumah Nelayan Sekaligus Hotel Terbaik Di Pulau Kaniungan

3 jam perjalananan dengan duduk di speedboat cukup membuat badan menjadi pegal. Belum lagi panas matahari saat itu cukup untuk mengubah warna kulit menjadi coklat. Hanya sehelai kain yang digunakan untuk melindungi tubuh dari sengatan matahari. Sesekali kecepatan speedboat harus diturunkan perlahan mengingat kondisi air laut yang sedang surut. Barisan terumbu karang berjejer dengan warna-warnanya yang menarik. Menjadi obat pencegah kebosanan selama perjalanan.

 Pulau Kaniungan memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan menjadi objek wisata. Akses yang bisa dijangkau dari Teluk Sulaiman membuat pulau ini sangat strategis. Apalagi didukung dengan suasana yang tenang dan jauh dari keramaian membuat tempat ini cocok bagi orang yang ingin menghabisi hari liburnya dengan santai tanpa ada gangguan.

 

Keheningan memang terpancar di pulau ini. Tidak ada satupun orang yang menyambut kedatangan kami. Yang tampak hanya 2 orang anak kecil sedang menikmati permainan bola sepak di tanah lapang. Tidak jauh dari tanah lapang terdapat penginapan yang bernama Rumah Nelayan yang menjadi satu-satunya tempat bermalam. Hamparan pohon kelapa yang berdiri tegak menjadi pemandangan yang menarik disini. Beberapa kursi dan meja kayu menjadi penghias untuk menikmati ketenangan air laut selain gazebo yang sering digunakan warga sekitar untuk bersantai.

 Dengan tarif sekitar 300 ribu rupiah dan memiliki 4 ruang kamar yang bisa diisi sampai 3 orang, Rumah Nelayan bisa dijadikan tempat untuk beristirahat melepas lelah sambil menikmati ketenangan yang tercipta di pulau ini. Aliran listrik yang hanya menyala terbatas pada malam hari dan tidak adanya jaringan komunikasi bisa membuat kita menyatu dengan alam, seakan-akan sedang terdampar di pulau yang tidak berpenghuni.

Nyiur Melambai Di Tepi Pantai

 Suara ayam berkokok dan matinya kipas angin menandakan matahari sudah menampakkan terangnya. Sayup-sayup suara gergaji mesin meraung dari kejauhan membuat saya tersadar dari alam mimpi. Segera saya bergegas pergi ke kamar mandi untuk membasuh badan supaya segar dan bersiap untuk bertamasya di pulau ini.


Udara masih segar pada pagi itu, terlihat dua orang bapak sedang sibuk menggergaji kayu untuk membangun penginapan baru. Mas Harry mengajak saya dan Chan untuk melihat sekeliling pulau ini. Tentunya ajakan tersebut tidak saya tolak. Sejauh mata memandang hamparan pulau kelapa menjadi atap hidup untuk melindungi pulau ini dari panas matahari.

Gazebo dan Beberapa Kursi Kayu Yang Dibuat Untuk Bersantai

 

Pasirnya yang putih dengan kombinasi ribuan pohon kelapa yang tumbuh seakan bersepakat untuk mendorong wisatawan untuk datang ke pulau ini. Sesekali tampak kawanan manta pasir berenang di pinggir pantai seakan tidak peduli dengan kedatangan kami. Pasir pantai di pulau ini termasuk salah satu yang cukup bersih dan masih sangat alami, tidak ada sampah yang mengotorinya. Dan menurut cerita dari masyarakat setempat, pulau ini sempat direkomendasikan oleh salah satu produser asal Negeri Paman Sam untuk dijadikan syuting film.

 Penghasilan utama masyarakat disini adalah nelayan dan pengumpul minyak kelapa. Maka tidak heran jika kita berkunjung kemari, kita bisa melihat tumpukkan batok kelapa yang menggunung.



Suasana disini mengingatkan saya pada lirik lagu ciptaan Izmail Marzuki dengan lagu yang berjudul Rayuan Pulau Kelapa. “Mungkin gambaran seperti inilah yang beliau rasakan pada saat mengarang sebuah lagu”. Gumam ku. Betah rasanya duduk berlama-lama di pinggir pantai mendengar deru ombak ditemani tiupan semilir angin seakan beban dalam hidup menjadi hilang.

 

Berfoto Diantara Pohon Kelapa

 

Tidak menyangka di tempat terpencil ini saya bisa menemukan “surga” yang masih alami. Sebuah harapan besar bahwa masih banyak “surga-surga” kecil di Indonesia yang patut untuk dikembangkan menjadi obyek wisata. Pulau Kaniungan memang jarang masuk ke dalam incaran para wisatawan yang berkunjung di Kepulauan Derawan dan gaungnya memang tidak setenar Derawan, Maratua, dan Kakaban. Namun, pulau ini cocok bagi mereka yang ingin menikmati keaslian suasana kehidupan pulau. Maka tidak salah jika Pulau Kaniungan menjadi destinasi wajib, bagi mereka yang terbiasa hidup di kota besar.

Tinggalkan komentar